Kembalinya Kebijakan Industri

Liberalisasi tidak untuk semua. Kebijakan serba liberalisasi mendapatkan tekanan setelah dianggap menjadi penyebab baik krisis finansial Asia pada tahun 1998, maupun kemudian krisis finansial global pada tahun 2008. Asumsi pasar sempurna yang menjadi basis argumen kebijakan liberalisasi finansial langsung patah begitu terjadi kedua krisis tersebut.

Kembalinya pamor kebijakan industri pun seperti menambah pukulan telak kepada para libertarian. Dahulu kebijakan anti intervensi pemerintah sempat menjadi primadona. Kebijakan Industri sebaiknya dibuat seminimal mungkin, biarkan pasar bekerja, maka ekonomi akan berjalan dengan efisien. Argumen tersebut dibangun dengan asumsi kesempurnaan pasar. Sayangnya Kegagalan pasar, ciri khas negara-negara low to medium income, menjadi akar penyebab tidak efektifnya liberlaisasi.

Kritik terhadap liberalisasi perdagangan datang dari Rodrik dkk. Menurut Rodrik, pasar bebas juga gagal dalam menumbuhkan industri, karena pasar tidak punya skala ekonomi yang cukup berkembang dan melakukan riset. Tidak harus riset berteknologi tinggi, “riset” sesederhana mencari-cari kerjaan maupun sektor unggulan pun butuh biaya dengan tingkat kegagalan yang tidak kecil. Di sinilah pemerintah harus berperan.

Argumen Rodrik diamini oleh banyak peneliti, diantaranya Cherif dan Hasanov. Mereka berargumen bahwa jika Jepang, Korea Selatan dan Taiwan jaman dulu mengikuti kehendak pasar bebas, atau dengan kata lain fokus pada Revealed Comparative Advantage (RCA), maka mungkin mereka tidak akan jadi pemain besar di industri automotif, perkapalan, maupun elektronik seperti sekarang ini. Mereka menggambarkan bagaimana RCA negara-negara Asia Timur pindah dari ekspor barang dengan nilai rendah ke barang-barang teknologi tinggi yang punya nilai tambah sangat tinggi.

Penelitian tentang majunya Asia Timur juga semakin kaya, dan seolah mendukung premis kebijakan industri. Karya tulis yang nggak terlalu ekonomi yang paling cantik menggambarkannya mungkin adalah buku karya Joe Studwell. Dalan buku berjudul How Asia Works tersebut, Studwell menggambarkan bagaimana peran pemerintah dalam mengatasi kegagalan pasar di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Tiongkok. Pemerintah mendorong revolusi agraria sehingga warganya punya cukup insentif untuk berusaha dan berkembang serta memiliki aset pribadi yang cukup untuk melompat ke industri manufaktur. Ketika harus lompat ke industri manufaktur, pemerintahnya lagi-lagi melakukan intervensi untuk membantu industri dalam negerinya. Buku tersebut juga menggambarkan bagaimana negara seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina gagal melakukan apa yang dilakukan 4 macan Asia tersebut di atas.

Indonesia sudah gagal bahkan ketika masih dalam tahap melakukan reformasi agraria pada zaman kepemimpinan Soekarno, mungkin bahkan sampai hari ini. Industri yang dikuasai kroni dan liberalisasi yang penuh dengan ketidak sempurnaan informasi semakin menambah panjang daftar kegagalan Indonesia menurut Studwell. Lalu harus bagaimana?

Kesemua pendukung kebijakan industri sepertinya memiliki pendapat yang sama dalam hal resep kebijakan industri seperti apa yang sangat mumpuni. Intervensi harus dilakukan ke arah industri yang dianggap strategis. Ciri industri yang strategis menurut Cherif dan Hasanov adalah industri yang berteknologi canggih, yang memiliki nilai tinggi, dan bisa diekspor. Ekspor menjadi kunci penting, pertama untuk memapar perusahaan di Indonesia dengan kompetisi dalam negeri. Kelebihan lainnya adalah untuk mendesain insentif. Pemerintah harus mendesain insentif untuk industri strategis, namun hanya memberikannya kepada perusahaan yang melakukan ekspor. Berikan target perusahaan untuk melakukan ekspor, insentif untuk ekspor, dan jika tidak ekspor maka tidak akan diberi akses ke insentif.

Indonesia telah lama memiliki perencanaan industri nasional. mulai dari yang jadul, Kebijakan Industri Nasional, yang dituangkan pada Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, sampai yang terbaru yaitu Making Indonesia 4.0, yang belum ada peraturannya. Semuanya menekankan akan adanya industri strategis nasional, yang silih berganti. Terbaru mengatakan bahwa industri unggulan kali ini adalah otomotif, kimia, tekstil, F&B, dan elektronika. Sebuah langkah awal yang patut diapresiasi.

Saat ini sepertinya Indonesia sedang merancang insentif bagi perusahaan untuk menyukseskan peta jalan Making Indonesia 4.0. Diantaranya adalah insentif pajak Super Tax Deduction bagi perusahaan yang menyisihkan profitnya untuk kegiatan pemagangan dan riset. Langkah yang berani, mengingat perusahaan masih menjadi salah satu sumber pemasukan negara yang paling penting. Namun memberi insentif bagi perusahaan untuk melakukan riset dan pengembangan merupakan langkah penting untuk mengatasi kegagalan pasar.

Insentif untuk riset adalah langkah yang baik. Namun sejauh ini, terobosan. untuk memberikan insentif berdasarkan performa ekspor masih belum terlihat. Kebijakan seperti subsidi bunga pinjaman dengan besar yang diproporsi ke nilai ekspor seperti yang dilakukan Park Chung Hee, Pemimpinan Korea Selatan pada tahun 70an, belum terlihat dilakukan oleh pemerintah.

Namun demikian, kita tetap berharap semoga apa yang dilakukan pemerintah saat ini berbuah manis. Setidaknya para ekonom sudah mulai melirik pentingnya intervensi pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi. Yuk kita doakan. Ketik amin di komen untuk turut mendoakan 👇

Krisna Gupta
Krisna Gupta
Dosen

Dosen di Politeknik APP Jakarta. Juga mengajar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Associate researcher di Center for Indonesian Policy Studies. Fokus penelitian tentang dampak kebijakan perdagangan dan investasi terhadap ekonomi Indonesia, terutama sektor manufaktur.

comments powered by Disqus

Terkait