The Value of Everything: Sebuah Ulasan

Belum lama ini, saya menyelesaikan salah satu buku yang rame banget di kalangan ekonom, yaitu “The Value of Everything: Making and Taking in the Global Economy” karangan bu Mariana Mazzucato. Menurut saya, melalui buku ini, Bu Mazzucato berusaha menyediakan kritik terhadap kapitalisme (atau, secara umum, “marginalists view”), tanpa mengatakan bahwa kapitalisme adalah sistem yang gagal.

Bahasa yang digunakan menurut saya cukup sederhana. Jika anda adalah seseorang yang cukup familiar dengan ilmu ekonomi, maka kemungkinan besar akan bisa langsung nyambung dengan arah argumen beliau. Jika anda bukan, mungkin bab-bab awal akan sedikit membingungkan. Namun demikian, di luar kritik-nya terhadap cara menghitung Produk Domestik Bruto (PDB), bab-bab berikutnya, menurut saya cukup mudah dicerna. Kritik-kritik soal siapa yang produktif (value creator) dan siapa yang pengisap nilai (value extractor), di mana beliau melayangkan kritik terhadap profesi jasa keuangan, proses inovasi, dan kepemilikan oleh negara, saya rasa cukup mudah dicerna oleh kebanyakan pembaca.

Dalam review ini, saya mau mencoba membahas sedikit di tiga poin yang menurut saya sangat mencerahkan. Sayangnya, banyak bagian mendetail dari buku ini yang saya tidak ingat (misalnya, nama orang, tahun kejadian, nama perusahaan dll), dan saya nggak bisa buka lagi tu buku karena bukunya buku pinjaman dan sudah saya balikin ke yang punya kwkwkwk. BTW, temen saya itu namanya Wannaphon Durongkaveroj dan dia nulis review-nya di sini jika anda tertarik baca. Keren deh reviewnya.

Balik ke tiga poin saya.

Kritik terhadap PDB: Apakah Produktivitas = PDB?

Mudah untuk melupakan apa tujuan semula sebuah negara ketika kita sudah terlalu lama menggunakan satu indikator sebagai kunci sukses. PDB saat ini seolah sudah menjadi tujuan utama bagi perangkat negara mulai dari level pegawai sampai Presiden. Apapun yang terjadi, PDB harus selalu tumbuh! Kadang-kadang saya suka mikir, saking seringnya kita mempertanyakan kenapa PDB tidak tumbuh, kadang kita lupa mempertanyakan apakah PDB adalah indikator yang tepat? Kenapa kita begitu ingin menaikkan PDB segitunya? Seberapa besar sih yang kita korbankan demi PDB?

Bagi kita yang terlalu terbiasa menggunakan PDB, perjalanan historis mencari arti dari value (nilai) cukup mudah untuk diabaikan. Pertanyaan mengenai apa arti nilai adalah sebuah perjalanan yang mengawali PDB. Sejak jaman dulu, pertanyaan ini sudah coba dijawab sejak sebelom Adam Smith. Beberapa pekerjaan dinilai produktif karena menghasilkan barang dan jasa (misalnya petani), namun beberapa pekerjaan dianggap tidak produktif, alias value extractor (misalnya pemilik lahan). Setiap era, setiap orang, memiliki definisi sendiri-sendiri yang agak subyektif. Atau, dalam buku ini, dibilang obyektif karena nilainya tidak berdasarkan oleh pelaku pasar.

Akhirnya perdebatan ini terselesaikan oleh mereka yang Bu Mariana sebut “kaum marginalist”, yang menganggap bahwa nilai sebuah pekerjaan ditentukan oleh seberapa besar konsumen rela membayar untuk mendapatkannya (iya! ini adalah pondasi ekonomi modern yang selama ini kita pelajari di sekolah!). Bagi kaum marginalist, sebuah aktivitas memiliki “nilai” yang berbeda-beda bagi setiap orang. Perbedaan ini sulit digeneralisir karena subyektif terhadap kesukaan seseorang. Akhirnya, pengorbanan ini dinilai dengan seberapa besar “harga” barang tersebut: yang menilai kurang dari itu akan gak beli atau bikin sendiri, yang menilai lebih dari itu akan beli bahkan mungkin ditambah tip. Dari harga inilah muncul ide menghitung PDB. Akhirnya, nilai=harga, produktivitas=PDB.

Perhitungan dengan penggunaan harga mengakibatkan sebuah aktivitas atau barang hanya bernilai (memiliki “value”) jika aktivitas atau barang tersebut ada harganya. Aktivitas “merawat anak” dianggap tidak bernilai jika dilakukan oleh seorang ibu. Akan tetapi kalau diserahkan ke child care, tiba-tiba aktivitas tersebut akan memiliki nilai. Jika anda beternak lele untuk dikonsumsi sendiri, maka lele anda tidak bernilai. Dengan begitu, kegiatan anda sebagai peternak lele dianggap ga ada gunanya. Lebih baik anda pergi ke kantor dan digaji oleh pemilik modal.

Ini menimbulkan masalah ketika menghitung PDB. Dua rumah tangga akan punya PDB yang kecil jika masing-masing orang tua merawat anaknya sendiri. Namun jika ibu di rumah tangga A menitipkan anaknya ke rumah tangga B, dan ibu rumah tangga B menitipkan anaknya ke rumah tangga A, masing-masing mematok harga 100 ribu per hari, tiba-tiba ekonomi rumah tangga A+B bertambah sebesar 200 ribu. PDB tumbuh!

Ini adalah masalah klasik perhitungan GDP. Namun yang bikin ini benar-benar berpotensi bias adalah dimasukkannya nilai rumah yang digunakan oleh pribadi ke dalam perhitungan PDB. Jika kita menggunakan tenaga sendiri untuk ternak lele atau menjaga anak lalu tidak dihitung PDB, kenapa “rental” sebuah rumah yang dipakai sendiri harus dihitung? PDB sangat sensitif terhadap perubahan metode. PDB yang sensitif akan mengakibatkan kebijakan yang juga sensitif. Untuk menaikkan PDB, maka negara akan fokus ke aktivitas yang ada harganya.

Volatilitas harga

Kita pernah diajari bahwa syarat suatu komoditas dapat dijadikan nilai tukar adalah komoditas tersebut harus punya nilai yang tetap, tak lekang oleh waktu. Di sisi lain, kita membutuhkan komoditas yang sangat cair, dapat dipecah dengan mudah, dan digunakan kapanpun. Dari sanalah kita akhirnya menggunakan emas sebagai alat pembayaran, lalu beralih ke uang yang “dijamin oleh bank sentral”. Ironisnya, nilai yang sangat cair ini seperti mengakibatkan komoditas yang nilainya sangat volatil.

Bagaimana cara kita menilai sebuah perusahaan? kalau perusahaannya masuk bursa, mungkin cara terbaik menilai apakah sebuah perusahaan itu berharga atau tidak adalah dari nilai sahamnya. Perusahaan yang performanya sangat baik (alias produktif), maka sahamnya akan disukai banyak orang, dan harganya naik. Terdengar sangat bagus, bukan?

Bu Mazzucato mendemonstrasikan di buku ini betapa mudahnya menyulap sebuah perusahaan menjadi “sangat produktif”. Dengan bermain tukar menukar “liabilitas” dan “aset”, membukukan profit dengan memotong kapasitas produksi dalam jangka pendek, di mata pembeli yang tidak jeli, akan mencerminkan nilai yang sangat tinggi akan sebuah perusahaan. Tindakan menyulap pembukuan seolah-olah menjadi sebuah kegiatan yang produktif karena memberikan nilai lebih pada perusahaan (menaikkan nilai saham). Saham yang seharusnya merefleksikan nilai jangka panjang, mendadak menjadi instrumen spekulasi jangka pendek. Atau yang disebut pelem-pelem sebagai “short selling”.

CEO Goldman Sach pernah bilang bahwa pegawai Goldman Sach adalah pegawai paling produktif di dunia. Bu Mazzucato mengatakan bahwa itu pak CEO halu. Saya sepertinya harus mengamini.

Pemerintah yang terlupakan

Jaman sekarang, entrepreneur dan startap dianggap sebagai dewa inovasi. Perusahaan teknologi besar seperti Google, Apple atau Facebook dikatakan sebagai perusahaan keren dan banyak inovasi. Wajar dong mereka bisa sekaya sekarang? CEO dan pendiri startap mengambil langkah berani, berinvestasi di kegiatan dan produk yang belum tentu menghasilkan. Bagi Bu Mariana, ini adalah mitos.

Teknologi yang “dikembangkan” oleh starap dan entrepreneur biasanya merupakan hasil penelitian militer maupun universitas yang dibiayai oleh negara. Hal ini berlaku untuk sebagian besar teknologi yang digunakan raksasa kapitalis ini, mulai dari teknologi sampai farmasi. Teknologi-teknologi ini sudah dibuktikan punya kemungkinan berhasil yang sangat tinggi. Namun ketika teknologi ini digunakan, kapitalis-kapitalis ini seolah menjadi kacang yang lupa kulitnya. Mereka mematenkan banyak hal yang mengakibatkan entrepreneur baru sulit masuk. Mereka mendirikan anak usaha dan memindahbukukan transaksi ke negara yang memberikan pajak sesedikit mungkin. Nilai yang “dibuat” oleh perusahaan-perusahaan ini bukanlah 100% dibuat sendiri, melainkan, sebagian, di-“ekstraksi” dari pemerintah. Dari uang negara. Dari anda dan saya. (nggak deng, sebenernya dari pajak orang Amerika. wkwwkw).

Selain itu, beliau juga mengkritik kehebatan entrepreneur dengan memberikan contoh beberapa usaha milik negara yang diprivatisasi, di mana privatisasi tidak membuat performa perusahaan tersebut membaik dan malah makin buruk.

Ada banyak lagi poin menarik di buku itu, termasuk sedikit pelajaran sejarah. Tapi tiga poin di atas yang paling saya ingat sampai sekarang. Bu Mariana tidak menyebutkan solusi secara konkrit selain mengajak kita untuk lebih memikirkan soal nilai, sebuah fundamental penentuan produktivitas, daripada hanya sekedar harga yang begitu rapuh (dalam kasus saham, bisa berubah hanya dalam hitungan detik). Selain itu, Bu Mariana juga mengajak kita untuk mengurangi ke-halu-an kita terhadap starap dan entrepreneurship, dan lebih menghargai peran pemerintah dalam ekonomi. Yah kayak skandinavian countries gitu lah. Tetap kapitalisme, tapi mixed economy.

Buku ini sangat saya rekomendasikan. Buku ini dapat memberi banyak insight tentang pemikiran di luar teori yang selama ini dipelajari oleh textbook ekonomi. Buku ini juga saya sangat rekomendasikan kepada orang yang suka memperdebatkan sistem ekonomi kapitalisme vs sosialisme vs yang lainnya jika ada. Argumen yang ada sangat runut dan cukup mudah dipahami daripada harus buka buku yang bahas teori free market dan market failure apalagi sampai harus menggali empirical evidence segala. Bu Mariana menyuguhkannya dengan sangat apik untuk anda.

Krisna Gupta
Krisna Gupta
Dosen

Dosen di Politeknik APP Jakarta. Juga mengajar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Associate researcher di Center for Indonesian Policy Studies. Fokus penelitian tentang dampak kebijakan perdagangan dan investasi terhadap ekonomi Indonesia, terutama sektor manufaktur.

comments powered by Disqus

Terkait