Sebuah Catatan Tentang Kampus Merdeka-nya Mas Menteri

Belum lama ini channel youtube Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan video baru, yaitu presentasi Menteri Nadiem Makarim tentang Kampus Merdeka. Bagi saya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah kementerian paling penting dari semua kementerian yang ada. Selain karena duitnya banyak, mereka adalah Kementerian yang mengatur masa depan kita. Bagi saya, sebuah bangsa hanya akan menjadi sebesar apa yang mereka ajarkan ke anak-anaknya. Anak-anak ini adalah masa depan kita. Oleh karena itu, ketika Jokowi mengumumkan nama Nadiem sebagai Mendikbud, saya lumayan excited.

Nih pidionya

Sepertinya kampus merdeka mendapatkan penerimaan yang sengit dari banyak kalangan. Banyak kalangan masyarakat menganggap kebijakan ini terlalu pro pengusaha, menawarkan buruh murah, tidak pro mahasiswa. Para dosen mengeluhkan program Nadiem yang dari permukaan tampak terlalu berat di praktik, padahal akademik adalah soal berpikir kritis, logis, setia kepada rumpun ilmu, tanpa boleh dikotori dengan kapitalisme.

Tulisan saya akan sedikit bernada lebih positif.

Apa Itu Kampus Merdeka

Kampus merdeka sendiri adalah sebuah program yang lebih ke arah pendidikan tinggi daripada pendidikan dasar dan umum. Bagi saya pribadi, kalo soal kebijakan intervensi pendidikan, semakin awal semakin baik. Gebrakan seharusnya dimulai dari SD, atau bahkan TK kalau perlu. Kalo udah keburu gede udah susah diubah. Tapi Nadiem, di awal pidatonya, menawarkan motivasi yang menurut saya sangat tepat: Kecepatan. Dia bilang, pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan yang paling cepat untuk mencetak SDM. Mindblowon!

Menurut video tersebut, ada 4 kebijakan baru terkait Kampus Merdeka. Pertama adalah dipermudahnya pembukaan prodi baru. Kampus akan memiliki keleluasaan lebih untuk membuat program studi baru. Saya pikir ini berpotensi bermasalah, namun meski banyak syarat lama akan dilonggarkan, ada satu tambahan syarat yang menurut saya krusial: kewajiban untuk membuktikan bahwa prodi baru ini akan melibatkan pihak lain yang memiliki kredibilitas, seperti perusahaan, BUMN, NGO, maupun universitas kelas dunia.

Kedua adalah menghilangkan kewajiban melakukan akreditasi setiap 5 tahun. Akreditasi kampus akan diperpanjang otomatis, kecuali kampus tersebut mau naik akreditasi, baru mengajukan untuk diakreditasi. Untuk mencegah penurunan kualitas, Kemendikbud akan memonitor indikator-indikator maupun aduan masyarakat sebagai gejala penurunan kualitas, dan akan melakukan akreditasi ke kampus tersebut. Oh ya satu lagi yang penting, yaitu pengakuan terhadap akreditasi internasional.

Yang ke-3 Nadiem berjanji akan mendorong universitas-unversitas untuk menjadi PTNBH. Kalo yang ini lebih ke kampus milik pemerintah, bukan swasta. Secara umum, kampus pemerintah bisa dibagi tiga jenis: satker, BLU, dan PTNBH. Satker itu yang paling cupu (ini tempat saya kerja 😢). Dia kalo mau ngapa-ngapain, harus lewat Kementerian yang mengurusnya. Kurang fleksibel. BLU seperti satker, tapi lebih fleksibel dari segi keuangan. PTNBH? pada dasarnya swasta yang dikasi duit ama pemerintah. wkwk. Kampus berstatus PTNBH ini bebas banget bikin keputusan sendiri. Saat ini baru 11 kampus di Indonesia yang bentuknya PTNBH.

Empat, ini yang pualing rame dibicarakan orang-orang, yaitu Hak belajar 3 semester di luar kampus. Kemendikbud akan mewajibkan kampus untuk menawarkan program di luar kampus sepanjang 3 semester, yang akan dihitung sebagai sks. 3 semester tersebut bisa digunakan untuk kerja praktek, dan/atau membantu penelitian, dan/atau entrepreneurship, bahkan bisa buat ngambil mata kuliah di prodi lain. Yak betul, itu dan/atau, jadi bisa misalnya kerja praktek 2 semester, 1 nya lagi kerja sendiri, atau penelitian 1 semester, entrepreneur 1 semester, trus kerja praktek 1 semester, dll dah. Karena sifatnya hak mahasiswa, boleh diambil boleh nggak. Kalo mahasiswa mau yang 8 semester di kampus semua, standar, ya gapapa. Tapi kampus wajib menyiapkan program 3 semester di luar kampus ini.

Pro dan Kontra Kampus Merdeka: Apakah Lebih Baik daripada Kondisi Saat Ini?

Satu hal yang langsung terasa buat saya sebagai dosen sekaligus tukang ngurus kampus adalah betapa terasanya semangat desentralisasi dari kebijakan Kampus Merdeka, terutama yang 3 pertama. Dipermudahnya bikin prodi baru berarti berkurangnya kontrol Kementerian atas apa yang boleh diajarkan kepada mahasiswa, dan sedikit lebih banyak kebebasan pada kampus untuk menyusun kurikulum. PTNBH jelas membuat kampus bisa lebih leluasa bergerak, dengan kontrol pusat yang lebih sedikit daripada BLU, apalagi satker (😢). PTNBH gak perlu ngurusin tarif PNBP jika menemukan peluang mencari dana lewat konsultansi atau dana riset, bisa bikin kerjasama U to U, bisa rekrut dosen tanpa lewat pusat, dan lain sebagainya. Akreditasi juga dibikin lebih simpel.

Kalau dipikir-pikir, kebijakan Nadiem di taraf pendidikan dasar seperti menghilangkan kewajiban UN juga kan lumayan ngurangin peran Kemendikbud terhadap pelaksanaan sistem pendidikan. wkwk

Tidak hanya mengurangi kontrol kementerian pusat terhadap kampus, Kampus Merdeka juga memberikan peluang yang lebih tinggi bagi dunia non kampus untuk terlibat dalam pendidikan tinggi. Kewajiban untuk bekerjasama dengan industri, kampus dunia, maupun NGO seperti seolah sebuah undangan dari Kementerian untuk institusi-institusi tersebut membantu kampus menjadi lebih relevan dengan dunia nyata. Pengakuan otomatis terhadap standar luar negeri tentu sangat membantu kampus-kampus yang sudah siap bersaing di dunia internasional tanpa harus dibebani pengurusan standar Kemendikbud yang tentu lebih rendah dibandingkan standar luar negeri yang diincar kampus-kampus yang sudah lebih maju.

Tidak hanya peran Kemendikbud yang dikurangi, tapi juga peran yang ada, dikurangi beban kerjanya. Kewajiban re-akreditasi setiap 5 tahun sekali jelas sangat mengurangi beban kerja Ban-PT. Argumen yang dibawa Nadiem sangat ekonomis sekali: opportunity cost. Ada misalokasi sumber daya gara-gara ini: kampus yang gak pengen (dan mungkin ga perlu) direakreditasi (karena lagi biz as usual) jadi harus alokasikan sumber daya utk ini, sementara kampus yang lagi semangat menggenjot peningkatan akreditasi untuk naik kelas dari akreditasi B ke A, misalnya, jadi harus ngantri untuk direakreditasi yang seringkali memakan waktu lama.

Oh iya, digressing sedikit, ada paling tidak dua poin di mana Nadiem mengakui keterbatasan institusi yang dipimpinnya, meski tidak eksplisit. Nadiem, di video ini, mengakui adanya missing-link antara apa yang diajarkan kampus dengan kebutuhan di dunia nyata. Ini literally pertama kali saya dengar datang dari petinggi Kementerian Pendidikan. wkwkwk. Nadiem juga mengakui akan perlunya peran pihak ke-3 (dunia usaha, asosiasi profesi, akreditasi luar negeri, dll) karena perubahan dunia saat ini terlalu cepat, terlalu global untuk diikuti oleh Kementerian. Kalo dengan argumen ini, jadi kelihatan wajar kenapa Nadiem memberikan opsi lebih bagi kampus untuk mengandalkan pihak non-Kementerian dalam mengembangkan kampusnya.

Untuk yang ke-4 sebenarnya ada desentralisasi kampusnya juga. Kampus sekarang punya kebebasan lebih untuk mengembangkan program pendidikan non kampus yang lebih lama dari sekedar 1 semester kerja praktik. Ini membuka peluang lebih untuk kampus membuat program kerja sama dengan pihak ke-3 yang lebih leluasa dan fleksibel. Mahasiswa punya kebebasan (desentralisasi 😜) untuk mengambil program di luar kampus tersebut. Jika anda mahasiswa konvensional, anda tetap bisa kuliah full di kampus seperti biasa. Namun poin 4 ini memberi peluang bagi mahasiswa yang merasa membutuhkan pembelajaran dari tempat-tempat non kampus seperti perusahaan atau NGO.

Desentralisasi is the name of the game. Desentralisasi politik telah memunculkan jagoan-jagoan baru seperti bos Pak Nadiem sendiri, Bu Risma, Pak Ganjar, Pak RK, Pak Anies, dan lain sebagainya. Tentu akan menarik dilihat apakah desentralisasi kampus akan memunculkan kampus-kampus unggulan baru di mana-mana.

Ada beberapa kritik yang saya dengar dan menurut saya cukup valid. PTNBH dan magang sering disebut-sebut terlalu pro perusahaan dan mendorong kapitalisme pendidikan. Pemagangan seringkali menjadi celah perusahaan untuk mengurangi ongkos produksi. Apalagi ini mau diperpanjang sampai 1 tahun atau mungkin lebih. Selain itu, “Orientasi pendidikan semacam ini (fokus ke praktek) justru membunuh esensi kemerdekaan berpikir kritis sebagai manusia. Pendidikan tidak lagi menjadi alat pembebasan manusia atau memanusiakan manusia,” seperti kata Sekretaris Jenderal Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Dian Septi Trisnanti yang saya kutip dari Tirto. Oh ya, ada juga yang mengkritik dari sisi kenapa Nadiem tidak meningkatkan kompetensi guru dan dosen saja daripada bikin gini-ginian.

Emang si terakhir kali saya pergi ke kampus PTNBH di bilangan Depok, parkiran mobil di sana kayaknya udah padet banget. Tentu saja saya juga tidak terlalu menyukai komersialisasi pendidikan, yang dalam hal ini pendidikan tinggi. Sayangnya, uang memang masalah kita semua, termasuk pemerintah. Kampus PTNBH didorong untuk mencari uang sendiri dan subsidinya dikurangi, justru supaya uangnya bisa dipakai buat universitas lain yang lebih kecil. Namun demikian, dalam pidato Nadiem, dia berjanji bahwa subsidi kampus yang naik status jadi PTNBH tidak akan dikurangi, jadinya kalau kampus dapat uang baru, maka uangnya akan meningkatkan anggaran belanja total kampus.

Sebagai aikonomis, saya suka melihat interaksi pasar bebas sebagai relasi kuasa antara penjual dan pembeli. Pasar pendidikan tinggi juga tidak luput. Komersialisasi pendidikan nampak jelek karena, meski permintaan pendidikan tinggi cenderung naik terus, penawarannya stagnan. Ada sesuatu yang bikin kampus-kampus terbaik di Indonesia tidak kunjung bertambah kualitas dan kuantitasnya. PR Nadiem salah satunya ya memperbanyak supplier pendidikan tinggi, tidak hanya dari segi peningkatan kualitas dan kuantitas, namun juga pilihan fokus kampus: kerja atau akademis. Jika saingan kampus gedhe bertambah banyak, maka biaya pendidikan juga mungkin bisa ditekan.

Dan ingat, menjadi PTNBH itu tidak wajib kok. Jadi gak akan lah semuanya jadi tiba2 kapitalis gitu. Anda akan tetap punya pilihan kampus yang sosialis secara biaya.

Soal meningkatkan kualitas dosen, saya rasa itu bukan perkara mudah. Saya skeptis Kemendikbud bisa melakukannya dalam waktu singkat, berapapun uang yang mereka punya. Mungkin Nadiem pun skeptis. Karena itu, menurut saya, beliau berusaha melibatkan pihak ke-3 seperti industri, asosiasi profesi, dan kampus internasional. Keterlibatan ini, kalau menurut kampus merdeka, dapat berupa penyusunan prodi baru, yang mana penyusunan kurikulumnya dibantu oleh praktisi dunia nyata, atau kerja sama program magang, di mana 3 semester mahasiswa akan diajari oleh praktisi dunia nyata. Apakah ini hal buruk untuk mahasiswa?

Dan yang terakhir ingin saya tanggapi adalah soal pendidikan sebagai alat pembebasan manusia. Ada juga teman saya yang berargumen bahwa pendidikan itu seyogyanya adalah mengejar sebuah keilmuan yang murni. Seharusnya bebas dari cengkraman kapitalisme.

Argumen yang sangat cendikiawan. Saya akui otak saya agak kurang nyampe untuk memahami argumen seperti itu. Mungkin memang sebagai akademis, kita wajib menjunjung tinggi akar keilmuan kita. Namun sayangnya dunia nyata ini tidak seindah itu. Bagaimanapun, anak-anak didik kita perlu mencari uang, membahagiakan diri sendiri dan keluarganya, dan membantu membangun perekonomian Indonesia. Tidak seperti negara maju yang dana risetnya bisa mencapat 1 atau 2% GDP, Indonesia masih belum secanggih itu. Bagi mayoritas anak didik kita, menjadi radikalis keilmuwan merupakan sebuah kemewahan yang tidak bisa terbeli. Bagi saya pribadi, menjunjung tinggi rumpun keilmuwan kita tentu saja adalah wajib hukumnya. Namun pendidikan sudah seharusnya berfokus pada peserta didik, bukan ilmunya. Apa yang mereka butuhkan, bukan apa yang mau kita turunkan pada mereka.

Rasanya dari para kritikus yang pernah saya baca dan dengar, belum ada yang mengemukakan kebijakan alternatif seperti apa yang mereka bayangkan seharusnya dilakukan oleh Kemendikbud. Konsekuensinya, saya hanya bisa membandingkan kebijakan kampus merdeka dengan status quo. Daripada status quo, saya masih merasa kampus merdeka mungkin lebih baik. Setidaknya, kampus merdeka tidak menghilangkan status quo, tapi membuat status quo menjadi sebuah pilihan. Dari paparan Nadiem, kampus merdeka memberikan kampus lebih banyak kebebasan untuk beradaptasi dengan kebutuhan mereka maupun kebutuhan skill dunia usaha. Tidak hanya itu, program magangnya juga akan menjadi pilihan. Bagi mahasiswa yang anti kapitalisme atau yakin skill-nya tidak bisa dibayar murah, tetap bisa lulus tanpa mengambil jalur program magang.

Akhirnya, Kita Butuh Sesuatu yang Lebih dari Sekedar Pidato

Tentu saja tidak ada manusia yang sempurna. Kampus merdeka tidak akan semerta merta menjadi tirta amerta bagi dunia pendidikan tinggi NKRI. pelaksanaannya masih harus kita lihat. Saat ini belum ada draft peraturan atau apapun yang bisa menjabarkan dengan detil ke-4 poin utama kampus merdeka ini. Tentunya Kemendikbud juga harus menerbitkan semacam list yang melegalkan pihak ke-3 yang boleh diajak kerjasama oleh kampus untuk bikin prodi atau program magang, dan juga akreditasi internasional mana saja yang diakui Kemendikbud juga belum ketawan. Bagaimana kriteria “menurunnya kinerja kampus” yang membolehkan Dikbud untuk turun mengaudit? Mengevaluasi seluruh kampus di Indonesia sudah pasti kerjaan yang berat, tapi mungkin masih lebih mudah daripada kewajiban mengakreditasi kampus-kampus tersebut setiap 5 tahun? Masih perlu dilihat.

Saya juga agak menyayangkan absennya Politeknik dan penyedia program diploma lainnya dari pidato Nadiem. Padahal, diploma justru adalah program studi yang lebih dekat ke Industri daripada strata yang lebih radikalis ilmu. Apakah kampus yang fokus ke industri seperti politeknik, harus melewati akreditasi yang sama dengan strata? Apakah dosen politeknik harus dievaluasi dengan metrik yang sama dengan dosen universitas? Saya juga menyayangkan absennya RPL (Rekognisi Pembelajaran Lampau) dari kampus merdeka. Ini kebijakan lama sih, tapi praktiknya kayaknya belum jelas. Bisa jadi sih Poltek dan RPL akan menjadi fokus pidato do’i di kesempatan lain. Mudah-mudahan bisa saya tonton juga.

Sejauh ini belum nampak ada peraturan baru yang dikeluarkan oleh Kemendikbud. Tentu kita belum bisa menilai aturan Nadiem kalo aturannya aja belom keliatan. Sejauh ini, kita baru bisa menilai pidato-pidatonya aja dari Mas Menteri. Untungnya menurut saya pidato beliau cukup bagus dan bisa dinikmati. Jarang lho saya suka ndengerin pidato pejabat. wkwkkw. Best part dari pidato yutup Nadiem di atas mungkin adalah KKN UGM di Papua. Keren kalo makin banyak kampus yang bisa bikin KKN kayak gitu. Videonya high quality banget dah. Bukan kaleng-kaleng. Cek di menit 32:57.

Krisna Gupta
Krisna Gupta
Dosen

Dosen di Politeknik APP Jakarta. Juga mengajar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Associate researcher di Center for Indonesian Policy Studies. Fokus penelitian tentang dampak kebijakan perdagangan dan investasi terhadap ekonomi Indonesia, terutama sektor manufaktur.

comments powered by Disqus

Terkait