Melihat Indonesia lewat kacamata Ray Dalio: Bagaimana Negara Bankrut
Tentang Buku Ray Dalio
Saya baru saja selesai membaca buku Ray Dalio yang berjudul “How Countries Go Broke”, sebuah buku yang menggambarkan tentang bagaimanas ebuah negara mengalami krisis utang. Premis awalnya adalah Amerika Serikat (AS) yang saat ini tengah mengalami gejolak utang yang cukup besar yang memasuki stadium akhir dari apa yang ia sebut dengan “The Big Debt Cycle”. Utang tersebut didorong oleh tidak hanya defisit anggaran, namun juga tingkat suku bunga dan inflasi yang sejak 2000an selalu sangat rendah sehingga utangnya bisa dengan mudah di-rollover. Gara-gara suku bunga yang terlalu rendah tersebut, AS (dan negara maju lain) menjadi terlalu santai dan jadi keranjingan utang. Namun setelah COVID-19, level suku bunga di negara maju mulai meningkat, sehingga membuat AS berpikir kembali tentang keberlanjutan utangnya.
Beberapa ekonom seperti Rogoff juga sudah mewanti-wanti utang AS, pun saya rasa Ray Dalio. Tapi di saat inflasi yang rendah lebih jadi masalah daripada inflasi yang tinggi, utang terus diberlakukan.
Saya sempat melihat paradigma yang sama di Australia, di mana Australia sangat santai dengan defisit neraca berjalannya yang sudah berjalan lebih dari 30 tahun tanpa sekalipun mengalami krisis. Dosen makro saya, Timo Henckel, pernah mengatakan bahwa hal ini bisa jadi berbahaya, tapi perdebatan ketika itu di Australia masih di arah santai. Dari Timo-lah saya belajar bahwa kita harus hati-hati dengan utang yang di permukaan tampak mudah. Politisi memperparah kondisi ini, karena meningkatkan belanja adalah apa yang memenangkan pemilu. Karena itu, mendisiplinkan utang adalah hal yang baru dilakukan ketika sudah terlambat.
Apakah AS sudah terlambat? Menurut Ray Dalio belum. AS sebenarnya masih bisa mulai melakukan apa yang ia sebut dengan “beautiful deleveraging”, yaitu mengurangi utang dengan cara yang tidak menyakitkan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menaikkan pajak, mengurangi pengeluaran, dan sambil menurunkan suku bunga. Alias, menurut dia, perlu ada .Namun, jika hal ini tidak dilakukan, maka AS akan mengalami krisis utang yang lebih parah.
Masalahnya, kondisi saat ini dibarengi dengan ketidakpastian politik yang tinggi, baik di dalam negeri maupun geopolitik. Ditambah dengan masalah natural seperti krisis iklim dan ketidakpastian akan bagaimana teknologi akan mengubah ekonomi, membuat situasi semakin rumit. Ya, di bukunya, Ray juga membahas soal hal-hal non-utang seperti tensi geopolitik dan dorongan natural akibat iklim.
Buat saya, prinsip keberlangsungan utang yang diangkat Ray Dalio di buku itu bukanlah hal baru. Di kuliahnya Timo udah dibahas soal keberlangsungan utang ini. Bahkan yang ia sebut “beautiful deleveraging” itu juga sebenarnya cukup standar: di mana pemerintah dan bank sentral harus berkolaborasi, ketika pemerintah mengurangi utangnya (dengan cara motong anggaran sedikit + naikin pajak), sementara bank sentral menolong dengan menurunkan tingkat suku bunga. Tapi cara Ray Dalio menjelaskan hal ini sangat mudah dan mengalir, ibaratnya versi “bahasa bayi” dari kuliah makro.
Ray Dalio menurut saya adalah contoh seseorang yang belajar makro dengan cara otodidak. Dia tentu sudah ngobrol dengan banyak orang-orang yang jago makro, dan terjun langsung dalam praktiknya menjadi investor global, yang otomatis harus mempelajari kondisi makroekonomi berbagai negara yang menjadi portfolionya. Dari contoh-contoh yang dia sampaikan, negara mana di tahun berapa yang berhasil beautiful deleveraging dan mana yang tidak berhasil, membuat saya sangat menghargai bagaimana ia belajar.
Mengaplikasikan indikator Ray Dalio
Di buku itu dia memberikan beberapa indikator dan contoh perhitungan kestabilan utang suatu negara. Beberapa indikator yang ia sebut adalah rasio utang terhadap pendapatan (dia bilang utang per PDB adalah indikator yang bisa misleading). Versi growth-nya juga bisa dihitung untuk melihat present value dari suatu utang. So far indikator yang ia pakai untuk negara sebenarnya sangat mainstream untuk investor dalam melihat fundamental1.
Saya mencoba melihat inidkator-indikator ini tapi pake versi gampang, alias ngandalin data historis aja tanpa saya coba proyeksikan ke depan seperti di buku Ray Dalio. Tentu karena malas. WKkwk. Data historis yang akan saya pakai adalah dari dataset IMF yang namanya Public Finances in Modern History2 yang bisa diakses dengan mudah di sini. Karena datanya bentuknya menyebalkan, saya gabung dulu secara manual di excel. Dataset ini punya indikator-indikator seperti di bawah ini:
Code | Description |
---|---|
prim | Government primary expenditure, percent of GDP (% of GDP) |
rev | Government revenue, percent of GDP (% of GDP) |
exp | Government expenditure, percent of GDP (% of GDP) |
ie | Interest paid on public debt, percent of GDP (% of GDP) |
pb | Government primary balance, percent of GDP (% of GDP) |
d | Gross public debt, percent of GDP (% of GDP) |
rltir | Real long term government bond yield, percent |
rgc | Real GDP growth rate, percent |
Kita akan pakai yang standar-standar aja. Pertama adalah rasio utang terhadap pendapatan. Di tabel di atas, rasio utang terhadap PDB adalah “d”, sementara rasio pendapatan negara terhadap PDB adalah “rev”. Jadi kita bisa menghitung rasio utang terhadap pendapatan dengan mengambil rasio d/rev, di mana PDB nya akan kecoret karena ada di d dan di rev.
Di samping itu, saya akan mengambil selisih antara bunga utang dengan pertumbuhan PDB. Jika bunga yang dibayar lebih tinggi daripada pertumbuhan pendapatan, maka di jangka panjang, utangnya akan semakin mahal dan berpotensi tidak terkendali nantinya. Nah, kita asumsikan bahwa seiring dengan PDB bertambah, kemampuan negara dalam meningkatkan pendapatan juga bertambah, sehingga pertumbuhan revenue saya proxy dengan pertumbuhan PDB. Rough, but still useful.
Pertama kita lihat dulu rasio antara utang dan pendapatan negara. Di atas ada AS dan Indonesia, tapi juga ada Jepang, Argentina dan Turki, 3 negara yang cukup legendaris krisisnya. wkwkwk.
Kita cukup familiar dengan krisis ekonomi Asia 1998 yang menimpa Indonesia. Dapat dilihat bahwa rasio utang/pendapatan Indonesia mencapai titik tertinggi pada 1999, di mana stok utang Indonesia mencapai 6,7 kali lipat dari pendapatan negara. Angka ini masih mending daripada Argentina yang mengalami 2 kali krisis gede di 1989 dan 2002. spike ini sangat wajar terjadi di masa-masa krisis, di mana ekonomi harus distabilkan dengan utang yang meningkat, sementara kemampuan pendapatan negara menurun. Sangat kelihatan spike untuk semua negara di 2020 waktu pandemi.
Tapi untuk AS dan Jepang, rasio utang/pendapatan ini terus meningkat sejak masa krisis terpenting mereka. Untuk Jepang di 1990, dan untuk keduanya sejak 2008, krisis finansial global. Ini sih bukan spike lagi, tapi terus meningkat secara berkelanjutan. Inilah salah satu kekuatan dari mengeluarkan surat utang dalam mata uang sendiri, apalagi kalau yang berutang mostly warganya sendiri. Di posisi ini, utang kedua negara mulai disupport oleh bank sentralnya.
Kedua negara sudah mencapai tahap kebijakan moneter 3 (MP3) kalau kata Ray Dalio, yaitu di mana bank sentral membeli surat utang pemerintah untuk menurunkan suku bunga. Ini yang membuat utang mereka terus meningkat, karena bunga utangnya terus ditekan. Demi balance sheet sektor swasta yang sehat, negara (dan bank sentral) harus mengorbankan balance sheet mereka. BTW, Argentina udah mau spike lagi dan bisa jadi harus dibail out IMF lagi untuk ke-23 kalinya
Indonesia tampaknya mulai naik rasionya sejak 2015 (jaman siapa tuh 👀). Tapi setelah 2020, rasio ini sepertinya mulai berhasil ditekan, mainly karena primary balance yang mulai menurun. Primary balance sendiri adalah selisih antara pendapatan negara dan pengeluaran negara minus pembayaran bunga utang. Angka yang negatif berarti belanja negara tanpa bunga (belanja negara efektif untuk mendorong konsumsi dan investasi) memang lebih tinggi daripada pendapatan.
Alias, nilai negatif menunjukkan ekspansi. Namun nilai positif berarti pendapatannya sebenernya sudah lebih dari pengeluaran. Hanya saja, overall tetap defisit karena harus nutup utang. Nah, 2023 menunjukkan bahwa Iprimary balance Indonesia mulai memasuki teritori positif, yang artinya defisitnya lebih banyak dipake buat nyicil utang/rollover.
Ngomong-ngomong, belanja yang rendah bisa kita lihat di grafik di bawah ini. Grafik ini menunjukkan primary expenditure, alias total anggaran belanja negara dikurangi bunga utang. dengan kata lain, pengukuran di bawah ini menunjukkan belanja negara yang beneran digunakan untuk menggerakkan
Terakhir, kalo lihat dari growth minus yield di bawah ini, kayaknya masih relatif oke. Indonesia adalah negara dengan yield gede, tapi pertumbuhan ekonominya juga bisa dibilang gede. Cuma memang masalah memajaki dan masalah ICOR masih harus menjadi perhatian yang sangat-sangat serius jika tidak mau terjebak dalam utang yang tidak berkelanjutan.
TLDR
Kesimpulannya, sepertinya Indonesia masih oke makroprudence-nya, terutama dibandingkan negara-negara lain. Kita juga banyak keluarin utang dalam mata uang sendiri (yang mana bisa ditolong bank sentral). Tapi harus hati-hati sih membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain terutama Jepang dan AS, karena mereka berdua agak spesial. Untuk Jepang, kita tentu gak mau terbelenggu dengan interest rate yang negatif seperti di sana. Investor pada kabur, nilai tukar turun terus, dan anak mudanya pada madesu. AS? Mereka nyetak dolar cuy. Meskipun dolar mulai kehilangan kekuatannya, sih, so, also not great for them.
Indonesia typically selalu dipuji-puji makroprudencenya, meskipun sektor ekonomi riilnya tergolong problematik. Kita nahan utang hanya di 3% PDB tiap tahun, sesuatu yang juga disarankan oleh Ray Dalio di bukunya. Bank Sentral kita masih kuat so far, dengan cadangan devisa yang sedang di posisi tertinggi sepanjang sejarah. Selama makroprudence kita relatif lebih baik daripada tetangga, maka tempat kita bisa jadi cukup atraktif untuk parkir uang.
Meski indikator kita masih oke, kita harus berhati-hati dengan beberapa ciri-ciri negara bankrut yang disebut-sebut oleh Ray Dalio. Misalnya, dia mengatakan bahwa otoritarianisme yang meningkat adalah ciri-ciri negara yang sedang menuju bangkrut. Trus, berlanjutnya kebijakan moneter menuju teritori MP3 (alias, utang-utang negara dan swasta dibeli bank sentral). Lalu, investasi yang tidak menumbuhkan produktivitas juga adalah sesuatu yang bisa jadi bahaya.
Khusus utang dibeli bank sentral, ini adalah pola yang disebut Ray Dalio di bukunya. Yaitu, pertama, sektor swasta akan bankrut karena sembarangan kelola utang (misalnya, perusahaan konstruksi atau penerbangan main uang sembarangan). Abis gitu, pemerintah akan membantu sektor swasta tersebut, misalnya dengan ngasi proyek atau ngasi bantuan modal. Duitnya dari mana? Utang! Abis gitu, kalo ga ada yang mau ngutangin lagi, Bank Sentral yang akan beli surat-surat utang tersebut untuk mencegah suku bunga naik. Jadi urutannya swasta dulu -> pemerintah -> bank sentral. Semua ini beriringan dengan negara yang semakin mengandalkan capital control dan bank sentral yang kehilangan independensinya. Sudahkah kita mencapai tahap tersebut?
Who's buying Indonesia's government bonds? pic.twitter.com/DYR8RKy9ZC
— 🐦 (@dionbisara) March 19, 2025
Yaudah demikian dulu. Mudah-mudahan kita selalu dalam kondisi yang baik-baik saja. Jangan lupa mensen saya di X kalau mau diskusi ya.
-
Ekonom, terutama ekonom makro, biasanya akan mengatakan bahwa indikator untuk individual firms tidak berlaku untuk negara. Hal ini gak salah sih, tapi debatnya tidak sederhana, terutama sejak inflasi AS kemaren post-COVID-19 & Trade War. Isu ini akan saya kesampingkan dulu karena nanti blogpostnya jadi kemana-mana. ↩︎
-
Mauro, P., Romeu, R., Binder, A., & Zaman, A. (2015). A modern history of fiscal prudence and profligacy. Journal of Monetary Economics, 76, 55-70. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jmoneco.2015.07.003 ↩︎