GVC, transformasi struktural, dan implikasi kebijakan

untuk industri makanan dan minuman di Indonesia

Krisna Gupta

Center for Indonesian Policy Studies

14 November 2022

Krisna Gupta

Konteks dari TOR

  • Pertumbuhan tinggi dan stabil bahkan di tengah pandemi.

  • Tantangan yang dihadapi:

    • Miss & match hulu dan hilir, ditunjukkan dengan tingginya kebutuhan bahan baku impor.

    • Kurangnya sarana & prasarana IKM \(\rightarrow\) produktivitas rendah.

  • Tujuan: peta jalan pertumbuhan industri makanan & transformasi ekonomi.

  • Saya fokus pada problem statement di TOR tsb.

Hari ini

  • GVC dalam industri pangan.

  • Pentingnya memisahkan sawit.

  • Tentang transformasi ekonomi dan kebijakan.

  • 38.4% of the non-oil and gas manufacturing industry
  • 6.7% of Indonesia’s Gross Domestic Product (GDP)
  • $ 45.4 billion total export
  • 20% share of Indonesia’s total export
  • 29% of the labor force in the industrial sector
  • 4.6 million jobs

Peran Rantai Pasok Global

  • GVC punya value extra di F&B ketimbang manufaktur lain.

  • Iklim dan geografi mengakibatkan tiap negara memiliki keunggulan yang berbeda-beda.

    • ada yang cocok tanam sawit, tebu, menggembala sapi, dan lain sebagainya.

    • Garam: nelayan vs penambang?

  • Kombinasi gizi dari berbagai jenis pangan dari berbagai belahan dunia.

  • Kombinasi rasa: oplos kopi, kakao, dst.

Global Value Chain of Nutella

GVC of Nutella (Scoppola, 2021)

Peran Rantai Pasok Global

  • Perusahaan yang mampu manage rantai pasok yang kompleks akan lebih kompetitif.

  • Negara yang memiliki kebijakan perdagangan yang pasti punya advantage

  • Perjanjian perdagangan adalah modal penting:input & market.

    • Negara yang mengandalkan GVC akan mengejar perjanjian dagang secara agresif.

    • RCEP akan memihak negara yang dapat memanfaatkan rantai pasok global.

Some evidence

  • GVC memberikan peningkatan produksi, lapangan pekerjaan, dan meningkatkan investasi di banyak negara (World Bank, 2020).

  • Di Indonesia, keterlibatan GVC memberi dampak yang baik terhadap produktivitas, employment dan ekspor

(Amiti & Davis, 2012; Amiti & Konings, 2007; Gupta, 2021; Kis-katos, Janneke & Sparrow, 2018; Kis-katos & Sparrow, 2015; Pane & Patunru, 2022; Rahardja & Varela, 2015)

  • Di Industri pangan Indonesia, backward GVC participation melalui impor produk hulu meningkatkan ekspor produk hilir (Amanta & Gupta, 2022)

Elephant in the room

  • Industri pengolahan kelapa sawit memiliki peranan yang sangat besar di struktur ekspor Indonesia.

  • Buah sawit memang merupakan komoditi perkebunan, harganya berfluktuasi.

  • Namun, minyak nabati sendiri masuk kategori manufaktur dgn KBLI heading 10.

  • Pertumbuhan industri pangan sendiri sangat dipengaruhi performa minyak sawit.

Dominasi vegetable oil

CPO vs no CPO

Industri sawit?

  • Ketergantungan sawit dapat memberi bias analisis pada industri makanan.

    • Sebagai eksportir sawit, nilai tambah asing memiliki peran yang tidak besar.

    • Akibatnya kita akan mengira impor di F&B tidak penting.

  • Industri makanan jadi dengan nilai tambah lebih besar sangat mengandalkan rantai pasok global.

  • Analisis untuk turunan sawit dan industri pangan secara umum harus dilakukan secara terpisah.

Kebijakan RPJMN

  • Pemerintah menargetkan pengurangan impor di sektor mamintem.

    • counter-intuitive dengan evidence & nature industri.

    • tidak sesuai dengan semangat RCEP maupun G20.

  • Mengurangi impor bahan baku pangan = meningkatkan ketergantungan pada sawit.

    • Fokus pada sawit: tingkatkan produktivitas & nilai tambah, isu lingkungan membatasi pasar.

    • Fokus sawit vs diversifikasi dengan GVC.

Transformasi struktural

  • Pemerintah ingin meningkatkan proses transformasi ekonomi ke arah manufaktur.

    • secara proporsi, artinya agrikultur dan low value added services akan turun.
  • Faktor produksi akan pindah ke manufaktur: tenaga kerja, tanah, modal.

    • expect relative reduction in agriculture production.

    • manufaktur butuh input: gap-nya harus diisi impor.

  • Memerangi impor bukan strategi yang bijak jika goalnya transformasi struktural.

Transformasi struktural

  • Banyak instrumen yang lebih baik daripada trade (Alta, Fauzi, Setiawan, 2022).

  • Untuk memastikan transformasi struktural yang baik, perlu kebijakan yang relevan untuk agrikultur.

    • dorong produktivitas melalui berbagai instrumen seperti keterlibatan swasta, kredit, subsidi tepat sasaran, struktur pasar yang baik, asuransi, dan instrumen lainnya.
  • Petani masih mendominasi program bantuan sosial. Perlu diperkuat dan bantu transisi jika diperlukan.

Kebijakan perdagangan

  • Perdagangan gandum dan kedelai cenderung lebih sederhana, dan produk turunannya cenderung lebih populer dan terjangkau.

  • Aturan produk lain cenderung lebih ketat:

    • restriksi kuota.
    • Surat rekomendasi teknis.
    • Laporan surveyor.
    • Performance requirement.
  • Beberapa aturan ini makan waktu dan membebani secara biaya.

Neraca Komoditas

  • Neraca Komoditas diundangkan untuk mempercepat proses penerbitan izin impor.
    • dengan data yang baik\(^1\), surat rekomendasi teknis tidak lagi diperlukan.
  • Sejauh ini, tampaknya penerapan untuk 5 komoditas (beras, daging, gula, garam dan perikanan) berjalan lancar.
    • Akan tetapi, sistem ini perlu diuji apabila diperlukan revisi mendadak.
  • Masih sering terdengar inkonsistensi di lapangan sejak Permendag 20/2021.

Koordinasi bersama

  • Pemerintah sebaiknya memiliki satu visi jika bermaksud mengembangkan satu industri.
    • tidak ada negara yang bisa bikin semuanya.
    • prioritize all = prioritize nothing.
  • Evaluasi dari kebijakan secara berkala harus dilakukan, terutama Neraca Komoditas.
    • jangan pelit resource untuk data!
    • tingkatkan kualitas diseminasi data dan evaluasi.
    • contoh productivity comission di Australia (mirip UKP4)

References

  • Alta, A., Setiawan, I., & Fauzi, A. N. (2021). Beralih dari subsidi pupuk dan benih: mengkaji ulang bantuan untuk mendorong produktivitas dan persaingan di pasar input pertanian. CIPS Policy Paper, 43. cutt.ly/cips-mk43

  • Amanta, F., & Gupta, K. (2022). Perdagangan untuk pemulihan ekonomi: kebijakan impor untuk mendukung sektor makanan dan minuman Indonesia. CIPS Policy Paper. cutt.ly/cips-mk51

  • Amiti, M., & Konings, J. (2007). Trade Liberalization, Intermediate Inputs, and Productivity: Evidence from Indonesia. The American Economic Review, 97(5), 1611-1638. https://doi.org/10.1257/000282807783219733

  • Amiti, M., & Davis, D. R. (2012). Trade, Firms, and Wages: Theory and Evidence. The Review of Economic Studies, 79(1), 1-36. http://www.jstor.org.virtual.anu.edu.au/stable/41407043

  • Gupta, K. (2022). The Heterogenous Impact of Tariff and NTM on Total Factor Productivity of Indonesian Firms. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 1-29. https://doi.org/10.1080/00074918.2021.2016613

  • Ing, L. Y., Yu, M., & Zhang, R. (2019). The evolution of export quality: China and Indonesia. In L. Y. Ing & M. Yu (Eds.), World Trade Evolution: Growth, Productivity, and Employment. (pp. 261-302). Routledge.

  • Kis-Katos, K., Pieters, J., & Sparrow, R. (2018). Globalization and Social Change: Gender-Specific Effects of Trade Liberalization in Indonesia. IMF Economic Review, 66(4), 763-793. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1057/s41308-018-0065-5

  • Kis-Katos, K., & Sparrow, R. (2015). Poverty, labor markets and trade liberalization in Indonesia. Journal of Development Economics, 117, 94-106. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2015.07.005

  • Pane, D. D., & Patunru, A. A. (2022). The role of imported inputs in firms’ productivity and exports: evidence from Indonesia. Review of World Economics. https://doi.org/10.1007/s10290-022-00476-z

  • Rahardja, S. & Varela, G.J. (2015). The Role of Imported Intermediate Inputs in the Indonesian Economy. World Bank Policy Note 3

  • Scoppola, M. (2021). Globalisation in agriculture and food: the role of multinational enterprises. European Review of Agricultural Economics, 48(4), 741-784. https://doi.org/10.1093/erae/jbab032

  • World Bank. (2020). World Development Report 2020 : Trading for Development in the Age of Global Value Chains. Washington, DC: World Bank.