Vaksin COVID-19 di Indonesia: harapan dan hambatan

Abstrak

Ngobrol santai Indonesia Synergy bersama Dr Syarifah Liza Munira dan I Nyoman Sutarsa dari ANU tentang program vaksinasi massal di Indonesia.

Tanggal
Feb 26, 2021 3:00 PM — 4:30 PM
Acara
Ngobrol santai Indonesia Synergy
Lokasi
ANU RSSS Building room 2.56
Canberra, Acton 2601

Rasanya sangat lumrah jika ada ketertarikan yang tinggi terhadap program vaksinasi di Indonesia. Indonesia Synergy, sekumpulan mahasiswa di Canberra, mencoba mangakomodir keinginan beberapa warga Canberra terutama para mahasiswa untuk mengadakan diskusi santai mengenai beberapa permasalahan dan optimisme mengenai program vaksinasi massal ini.

target dan jenis vaksin
target dan jenis vaksin
beberapa permasalahan di Indonesia
beberapa permasalahan di Indonesia

Kami mengundang Mbak Liza dan Bli Tarsa, dua orang peneliti di Australian National University (ANU). Dr Syarifah Munira adalah peneliti di Research School of Population Health, sementara Dr I Nyoman Sutarsa adalah dosen dan peneliti di Rural Clinical School, Medical School, The Australian National University. Bli Tarsa juga terafiliasi dengan Department of Public Health and Preventative Medicine, Faculty of Medicine Udayana University, Indonesia.

Bli Tarsa juga sempat menjadi pembicara di ANU Indonesia Project Global Seminar Series dua hari sebelum diskusi ini terjadi. Saya rekomen pada nonton rekamannya di youtube ANU Indonesia Project di sini.

Diskusi berjalan sangat lancar dan seru. Berikut sedikit kesimpulan dari diskusi hari itu.

Resensi ini adalah hasil interpretasi pribadi saya, dan belum tentu merefleksikan pandangan kedua narasumber dengan ketepatan 100%

Diskusi dimulai dengan mengangkat soal efikasi. Mbak Liza menjelaskan bahwa efikasi sebenarnya digunakan untuk mengestimasi seberapa banyak populasi yang harus divaksinasi untuk mencapai herd immunity. Beliau juga menjelaskan bahwa desain vaksin-vaksin yang ada saat ini memberikan penekanan kepada penurunan gejala sedang sampai berat, sehingga dapat mengurangi beban rumah sakit. Bli Tarsa menambahkan bahwa mengukur efektivitas vaksin memerlukan waktu yang cukup lama, dan untuk saat ini melihat hospitalization rate dapat lebih menjelaskan hal tersebut.

Dari sana, diskusi bergerak ke arah target Pemerintah, apakah target ini realistis atau tidak. Menurut Bli Tarsa, target ini cukup realistis, namun dengan memerhatikan rumitnya kondisi logistik di lapangan. Pemerintah juga harus meningkatkan jumlah vaksinator, karena target tersebut akan sulit terealisasi jika hanya mengandalkan fasilitas dan tenaga kesehatan yang ada saat ini. Program seperti melatih sukarelawan vaksinator di komunitas (seperti RT/RW) dapat menjadi jalan keluar karena vaksin COVID-19 tidak terlalu sulit diinjeksi (cukup lewat otot) dan komunitas berpotensi memiliki data yang lebih baik dan personal. Ia juga menambahkan best practice dari banjar di Bali.

Diskusi yang mungkin paling seru terjadi ketika membahas privatisasi. Mbak Liza memberikan penekanan ekstra pada bahaya kegagalan pasar (market failure). Privatisasi berpotensi menggerus jatah pemerintah dan mendistribusikan vaksin tidak sesuai dengan target, yaitu nakes dahulu, lansia dan pekerja esensial seperti guru, baru masyarakat luas. Bli Tarsa setuju dengan hal tersebut, mengatakan bahwa approach terbaik tetap terpimpin atau top down. Namun Mbak Liza menambahkan bahwa skema Public-Private Partnership dapat berjalan selama distribusi tetap sesuai dengan kebutuhan epidemiologis, bukan semata-mata ekonomi.

situasi saat diskusi
situasi saat diskusi

Basis data juga menjadi perhatian serius. Bli Tarsa mengatakan pentingnya memiliki basis data, terutama karena approach yang beliau sarankan adalah distribusi dari atas, namun dilakukan melalui grass root seperti RT/RW. Dengan kata lain, pendataan yang nyambung menjadi sangat penting. Pendataan berguna tidak hanya untuk targeting orang yang belum divaksin tapi harus divaksin, tetapi juga memastikan bahwa orang yang eligible memang sudah divaksin. Tentunya kita tidak ingin ada kasus seperti tes PCR palsu: orang yang belum divaksin ngaku-ngaku divaksin demi bisa jalan-jalan.

Kedua narasumber juga tidak menyetujui sanksi seperti denda dan kurungan. approach yang lebih baik adalah dengan mengeluarkan semacam insentif. Contohnya di Australia, vaksin tidak diwajibkan. Namun, ada kemungkinan pemerintah akan melobi perusahaan penerbangan untuk mewajibkan semua penumpang untung divaksin. Hal ini akan memberikan kebutuhan vaksinasi bagi setiap orang. Tentunya ini akan kembali lagi ke pentingnya pendataan untuk menghindari sertifikat vaksin palsu atau semacamnya.

Vaksin dalam negeri saat ini sepertinya masih cukup jauh dari realisasi. Vaksin merah-putih yang dikembangkan lembaga Eijkman baru sampai tahap 1 dan kemungkinan memerlukan setahun sampai siap diproduksi. Sementara itu, Vaksin nusantara / gotong-royong menggunakan teknologi yang pengembangannya dapat mencapai 10 tahun. Sepertinya agak sulit mengandalkan kedua vaksin ini untuk saat ini.

Poin terakhir adalah soal mutasi. Mutasi dapat menjadi momok apabila mutasi tersebut mengurangi efektivitas vaksin yang ada saat ini. Kemungkinan yang terjadi adalah keharusan melakukan re-vaksinasi, sehingga hal ini dapat membebani tidak hanya kapasitas produksi, namun juga kapasitas distribusi. Mbak Liza memberikan gambaran bahwa to some extent, hal ini dapat memberikan kepastian untuk produsen vaksin dalam meningkatkan kapasitas produksi. Bli Tarsa mengatakan bahwa saat ini mutasi masih terus dipantau, dan berharap bahwa Indonesia juga memberikan perhatian khusus dalam menguraikan strain-strain yang ada di Indonesia saat ini.

Diskusi ditutup dengan pesan dari kedua narasumber untuk senantiasa mengabarkan hal yang benar. Harapan yang tinggi juga diberikan kepada pemerintah untuk menyukseskan vaksinasi massal ini, sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Berikut foto-foto pasca diskusi. Canberra sendiri sudah membolehkan penduduknya beraktivitas seperti biasa. Mulai senin, saya sendiri akan memulai pengajaran offline untuk pertama kali. Pemerintah Australia agak santai dalam menjalankan program vaksinasinya, partly karena COVID-19 di Australia sudah cukup terkendali.

situasi setelah diskusi
situasi setelah diskusi
situasi setelah diskusi
situasi setelah diskusi
Krisna Gupta
Krisna Gupta
Dosen

Dosen di Politeknik APP Jakarta. Juga mengajar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Associate researcher di Center for Indonesian Policy Studies. Fokus penelitian tentang dampak kebijakan perdagangan dan investasi terhadap ekonomi Indonesia, terutama sektor manufaktur.

comments powered by Disqus

Terkait