Kisruh Impor Ayam Brazil: Ada Jagung, Ada Ayam

Another week, another trade related post! Baru-baru ini, netijen dikejutkan (lagi) dengan berita bahwa Indonesia akan mengimpor ayam dari Brazil. Hal ini akibat Indonesia disengketakan oleh Brazil ke WTO karena Indonesia menghalangi impor ayam dari Brazil, dan Indonesia kalah. Ini menyebabkan Indonesia harus merelaksasi peraturan pembatasan impor ayam.

Dispute ini menarik juga. Meskipun yang pertama kali menuntut Indonesia adalah Brazil, tapi negara lain ikut mendukung Brazil. Negara-negara tersebut diantaranya Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, RRT, Australia, Vietnam, dan lain-lain. Selain ayam, Indonesia juga sedang dituntut mengenai pembatasan impor daging sapi (juga oleh Brazil). Selain itu, Amerika Serikat dan New Zealand menuntut Indonesia soal impor barang holtikultur (iya, kisruh suap impor bawang itu gara-gara aturan ini) dan produk hewani.

Impor ayam (dan daging sapi)merupakan salah satu dari sekian banyak impor Indonesia yang dibatasi. Pembatasan ini diatur oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2018 tentang ketentuan ekspor impor hewan dan produk hewan. Menurut peraturan ini, barang siapa bermaksud mengekspor maupun mengimpor hewan dan produk hewan, harus mengantongi izin dari Kemendag.

Demi Ayam Nasional!

Kenapa Indonesia membatasi impor ayam? Jawaban paling mudahnya tentu saja demi melindungi industri peternakan (teorinya liat di kisruh bawang). Industri peternakan di Indonesia sepertinya tidak mampu bersaing dengan produk luar negeri. Menurut artikel dari beritagar ini, Harga pokok produksi ayam lokal adalah sekitar Rp 18 ribu sampai 19 ribu per kg. Artinya, kalau ayam lokal dijual Rp 22 ribu per kg, maka peternak lokal untung maksimal 3 ribu per kg. Sementara ayam Brazil bisa dijual sampai Rp 10 ribu per kg. Jauh banget!

Di sisi yang lain, pemerintah punya tugas menjaga inflasi agar stabil. Pemerintah yang menilai berapa harga pasar yang pantas. Jika kemahalan, maka pemerintah akan menginstruksikan BULOG untuk impor. Kalo bagi pemerintah masih murah? Impor pun distop.

Berkat ditahannya impor ayam ini, maka peternak ayam terlindung dari harga yang terlalu rendah, dan bisa menikmati harga yang “distabilkan” oleh pemerintah. Selain peternak ayam, yang diuntungkan mungkin pihak yang bekerja untuk membina industri peternakan. Peternakan tumbuh, artinya kinerja baik. Kalo impor bebas, peternakan pada tutup, berarti kinerja buruk. POTONG!! Potong ayam maksudnya wkwkw.

Tentu saja yang dirugikan adalah konsumen langsung. Saya, anda, ibu kita di rumah, yang seneng masak ayam. Tapi gpp. Netijen kuat. Demi produk dalam negeri. Nanti pas mau dipotong, ayamnya gocek-gocek kaya Neymar kan susah ya gaes. (Industri yang menggunaka ayam gimana? Menurut aturan Kemendag di atas, kalo perusahaan mau pake ayam sebagai input, mereka bisa impor pake APIP. Tapi sepertinya quotanya masih diatur oleh Kemendag jadi tetep gak bisa sembarangan. CMIIW).

Ayam: Dimakan dan Memakan

Sebenarnya cerita ayam ini agak mirip bawang. Produksi luar negeri lebih murah, dibatasi, lalu yang impor dapet untung. Tapi ayam agak sedikit lebih seru karena minimal 2 hal.

Pertama, tidak seperti bawang yang impornya bisa mencapai 95% dari total kebutuhan bawang Indonesia, impor ayam relatif kecil, yaitu sekitar 76 ribu ton pada 2018. Produksi daging ayam ras di Indonesia memiliki tren yang naik terus, dan pada 2018 mencapai 2,1 juta ton. Tidak seperti bawang yang petaninya tidak banyak, industri peternakan ayam ukurannya lumayan besar. Dengan kata lain, banyak banget peternak rugi jika tiba-tiba ayam Brazil masuk. Banyak warga NKRI yang bergantung pada ayam untuk mencari makan.

Alasan kedua, masih soal makan, tapi dari sisi ayam. Ada banyak alasan kenapa peternak kita kalah produktif dibandingkan peternak negeri samba (mungkin), tapi sepertinya masalah nomer satu adalah pakan ayam. Pakan utama untuk ternak adalah jagung, dan harga jagung di Indonesia rupanya cukup mahal. Pakan yang tinggi mengakibatkan peternak tidak bisa menekan harga produksi. Ini yang tidak saya bahas di postingan tentang bawang. Saya hanya bilang bahwa petani bawang kita kalah produktif, tapi saya tidak terlalu paham gimana cara mengungguli petani dari RRT.

Tapi untuk soal ayam, mengurangi harga pakan ayam berarti mengurangi ongkos produksi. Mengurangi harga jagung mungkin bisa menjadi salah satu kunci mengalahkan peternak Brazil. Karena itu pertanyaannya jadi beralih sekarang: Gimana cara mengurangi harga jagung? Sepertinya tidak mudah. Karena… Yak benar! Jagung kita juga banyak IMPOR!!

Menurut artikel tentang jagung di atas, peternak ayam membutuhkan harga jagung sekitar 4000an rupiah untuk bisa kompetitif di harga ayam sekitar 22ribuan rupiah. Data FAO menunjukkan memang harga jagung lokal biasanya stabil di sekitar 4 000an rupiah. Tapi dari UNCOMTRADE, harga impor jagung kita bisa ditekan sampai 3000an rupiah.

Kenapa harga internasional bisa berbeda dari harga lokal? Jawabannya, tentu saja, adalah impor jagung kita dibatasi! Impor jagung sendiri diatur oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 21 Tahun 2018 tentang ketentuan impor jagung. Menurut peraturan ini, impor jagung untuk pakan hanya boleh dilakukan oleh BULOG, sementara impor jagung untuk bahan makanan dan industri boleh dilakukan oleh BULOG dan pabrik. Tentu saja kapan dan berapa banyaknya diatur oleh pemerintah.

Sama dengan ayam. Petani jagung ingin harga tinggi, peternak ayam ingin harga rendah. Pemerintah, daripada keduanya berantem, memilih mendamaikan dengan cara mereka yang atur harga. Cinta damai banget yah kita ehe ehe. Lalu dari mana kita impor jagung? Gambar di bawah ini menunjukkannya.

Impor jagung Indonesia pada 2019 (sumber: tradeconomy.com)
Impor jagung Indonesia pada 2019 (sumber: tradeconomy.com)

YHA! Sebagian besar Impor jagung kita ternyata adalah dari Argentina dan Brazil!! Yak, anda tida salah, jagung kita ternyata adalah latino. Ya pantes aja ayam Brazil bisa murah, soalnya emang mereka termasuk produsen jagung yang murah, sampe bisa ekspor segala. Jadi peternak kita akan bersaing dengan negara yang sumber pakannya sama, cuma di kita lebih mahal karena impor jagung dibatasi (dan tentu saja ada margin cost freight and insurance di sana).

Tumpuk Menumpuk Kebijakan

Peraturan impor jagung dibuat untuk melindungi petani jagung. Namun akibatnya, harga jagung jadi mahal, dan peternak ayam yang menggunakan jagung sebagai input, jadi tidak kompetitif, dan akibatnya jadi harus dilindungi lagi dengan kebijakan baru. Kedua peraturan ini juga diperkarakan oleh Brazil (untuk ayam) dan New Zealand (untuk holtikultura). Mungkin Kemendag dan pihak yang mengayomi holtikultura dan ayam sedang puyeng sekarang.

Tidak seperti bawang yang memang petaninya sedikit, baik jagung maupun ayam merupakan industri yang pemain dalam negerinya tidak sedikit. Pemerintah yang selama ini mengandalkan kebijakan pembatasan, jadi terpaksa putar otak untuk memajukan pertanian (khuhsusnya jagung) dan peternakan (khususnya ayam) dengan cara yang berbeda.

Bagi konsumen, maka ayam Brazil bisa menekan harga daging ayam jadi lebih murah lagi. Indonesia merupakan negara yang konsumsi dagingnya masih rendah banget. Kalo ndak salah, konsumsi daging ayam Indonesia cuma 5 kg/kapita/tahun. Daging sapi mungkin lebih rendah lagi. Ayam Brazil mungkin bisa menolong.

Sekian postingan soal ayam dan jagung. Jika ada masukan dari para pembaca, akan saya update. Saya sendiri soalnya bukan ahli jagung dan ayam. Cuma orang yang lagi gabut. Oke tengkyu!!

Krisna Gupta
Krisna Gupta
Dosen

Dosen di Politeknik APP Jakarta. Juga mengajar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Associate researcher di Center for Indonesian Policy Studies. Fokus penelitian tentang dampak kebijakan perdagangan dan investasi terhadap ekonomi Indonesia, terutama sektor manufaktur.

comments powered by Disqus

Terkait