Catatan hasil nonton acara "Ngobrol Tempo" dengan judul "Substitusi Impor Produk Elektronika"

Tadi pagi nonton acara youtube “Ngobrol Tempo” di Youtube. Acaranya diisi oleh para pejabat Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Gabel, asosiasi produsen produk elektronik. Isinya tentang bagaimana cara melakukan substitusi impor produk-produk elektronika di tengah kebijakan Kementerian Perindustrian untuk menurunkan impor sebesar 35%. Acaranya sendiri saya rasa cukup menarik dan saya sangat senang bagaimana Bu Ratna dari Tempo memimpin jalannya diskusi. Ada beberapa hal yang menurut saya sangat menarik.

Pandangan merkantilis khas pemerintah

Tentunya yg pertama adalah soal pandangan khas merkantilis pemerintah. Maksudnya merkantilis tuh negara memiliki peran sebagaimana individu perusahaan: negara yang kompetitif adalah negara yang ekspornya lebih gede dari impor. Impor berarti kalah bersaing, ekspor berarti menang. Ekspor berarti untung, impor berarti rugi. Pandangan merkantilis seperti ini cukup populer tidak hanya di pemerintah Indonesia, tapi juga di masyarakat secara umum, bahkan di pemerintahan negara-negara lain.

Di acara ini, pandangan merkantilisnya cukup segmented, fokus di produk-produk elektronika. Di sini bahkan disinggung soal sektoral trade deficit di mana di HS tertentu, Indonesia adalah net importer. Menarik juga karena biasanya saya sering dengar pemerintah ngomongin bilateral trade deficit. Ini sampe ngomongin sektoral trade deficit. Ini spesifik banget. Mungkin kalo ada acara tentang CPO, apakah kita akan ngomongin CPO surplus? Kayaknya nggak ya. wkwk.

Memang agak sulit menggunakan ekspor dan impor sebagai indikator daya saing industri. Sulit menarik masalah trade deficit ini di level mikro, karena trade deficit sebenernya merupakan masalah yang cukup makro. Jaman sekarang di mana transaksi financial sangat cepat, kita tidak bisa ngomongin trade deficit tanpa ngomongin transaksi financial. Sebagai negara yang menargetkan capital inflow, ya wajar kalo transaksi neraca pembayaran negatif. Apalagi, Indonesia banyak mengimpor produk kapital dan komponen yang bisa dibilang adalah cara penggunaan FDI yang baik.

Trade deficit juga harus dibarengi dengan melihat perdagangan secara keseluruhan. Indonesia ini ekspornya gede banget di produk lain. Masa mau semua ekspor? Jangan lupa soal dutch disease di mana ekspor sebuah sektor mengakibatkan penurunan daya saing sektor lain. Jadi mau bicara defisit di satu sektor saja rasanya susah ya. Di samping membicarakan bagaimana menahan impor, pemerintah juga harus mempertanyakan manajemen finansial yang dilakukan oleh perusahaan di industri yang ekspornya tinggi. Apakah mereka banyak saving? Pegang cash? Ngasih deviden? Reinvest? Savingnya di luar negeri apa di dalam negeri? Berapa revenue negara dari industri ekspor?

Membandingkan dengan Vietnam

Khas yang kedua adalah membandingkan dengan Vietnam. Ini sebenernya cukup ngetren ga hanya di pemerintahan tapi juga di konsultan dan akademis. Bandingin sama Vietnam nih makin rame gara-gara Global Value Chain (GVC). Katanya, pada awal 2000an prosi perdagangan Indonesia di dunia adalah 0,9% sementara Vietnam 0,25%, tapi pada 2019, Porsi 1% indo perdagangan dunia, sementara Vietnam 2%.

Beberapa permasalahan membandingkan Indonesia dengan Vietnam:

  • Vietnam negaranya kecil. GDP dan $\frac{\text{GDP}}{\text{kapita}}$-nya masih di bawah Indonesia. Mereka ga punya market, jadi terpaksa memanfaatkan market dunia. Indonesia? Market domestiknya aja gede banget. Makanya “gampang” aja bikin kebijakan proteksionis.
  • Ekspornya gede tapi impornya juga gede. Alias, Value add-nya kecil. Yang disebut “ekspor elektronika Vietnam gede banget” itu sebenernya adalah hasil kerja banyak negara. Cuma kebetulan tempat pembuatan akhirnya aja di Vietnam. Akibatnya, kalau lihat dari statistik trade aja, kita jadi mengoverestimate produksi industri elektronika Vietnam.
  • Vietnam disebut sebagai negara yang sukses menerapkan GVC, bukan karena mereka proteksionis, tapi justru menyambut globalisasi. Inilah kenapa impor mereka gede banget. Karena mereka terbuka dengan globalisasi juga lah mereka berhasil punya banyak perjanjian dagang dengan ngera-negara lain dengan lebih cepat dari Indonesia. Disebut TPT Indonesia ke Uni Eropa kena tariff 15% sementara Vietnam 0% ya salah satunya karena ini.
  • Bisa lihat di bawah, meski $\frac{\text{trade}}{\text{GDP}}$-nya gede banget, tapi trade balance ga beda jauh dari Indo. Jgn lupa mereka trade balance-nya deficit terus 1986-2011. Kalo nggak salah, akhir 90an itu waktu-waktunya mereka mulai FDI.

Jadi karena beda ukuran dan beda approach (substitusi impor vs ekspansi ekspor), sebaiknya tidak perlu terlalu membandingkan diri dengan Vietnam. Vietnam juga ga punya sumber daya alam buat diekspor dan pasar dalam negerinya terlalu kecil. Wajar kalau mereka bergantung pada pasar global. Meski demikian, perbandingan institusi (kemudahan bisnis, manajemen logistik, perjanjian dagang) tetap oke aja.

Oh ya, ini juga perlu dihubungkan dengan mahzab merkantilis. Hanya karena bisa ekspor tidak berarti negaranya bagus. Pendapatan per kapita Vietnam masih di bawah Indonesia. Mereka bikin hape canggih-canggih tapi berapa banyak yang bisa beli di dalam negeri? Hal ini karena value added yg actually ada di Vietnam itu kecil banget (padat karya). Indonesia maunya yang 4.0 khan?

Tambah lagi, kita juga sama kan? Indonesia ekspor batubara dan CPO gede, tapi listrik di banyak wilayah aja masih susah dan sekarang minyak goreng mahal. Bagus? Apalah artinya ekspor kalau pendapatan dan konsumsi masyarakat umum segitu-gitu aja?

Kebijakan publik

Di acara ini juga disinggung beberapa hal terkait kebijakan yang cukup menarik. Jadi para panelis ditanyain kebijakan apa aja yang sedang dan mau dilakukan untuk meningkatkan daya saing produk elektronika dan membendung impor. Secara eksplisit para narasumber juga mengatakan WTO constraint mereka dalam membuat kebijakan. Atau dengan kata lain, kebijakan yang mau dilakukan harus in-line dengan peraturan internasional seperti perjanjian dagang dan WTO.

Hambatan Perdagangan

Beberapa kebijakan terkait perdagangan yang disebut:

  1. Kebijakan non-tariff barrier (NTB) seperti SNI dan TKDN.
  2. Trade remedy dan anti-dumping.
  3. Mereview kembali perjanjian dagang, termasuk Information Technology Agreement
  4. Pengajuan pertimbangan teknis (jatuhnya NTB juga).
  5. Penggunaan Neraca Komoditas (jatuhnya NTB juga).

Pengenaan NTB tersebut akan difokuskan ke 25 produk elektronika yang kebanyakan isinya adalah consumer electronics. Katanya peraturan persetujuan impor AC melalui Permendag 64/2020 berhasil meningkatkan investasi asing ke dalam negeri. Menurut Gabel, berkat NTB baru ini, pasokan AC domestik naik dari 20% dari total penjualan AC di Indonesia (atau 80% impor) jadi 30% (atau impornya turun jadi 70%). Seperti biasa, yang marah-marah tentunya adalah peritel AC yang stoknya didapatkan dari impor.

2 poin pertama saya sudah sering dengar. Tapi 2 poin terakhir ini cukup baru. Ternyata Kementerian Perindustrian menginginkan adanya lisensi kuota impor produk hilir produk elektronika dengan penggunaan pertimbangan teknis. Kalau ini jadi, nantinya produk-produk seperti TV, kulkas, dan AC harus mengajukan surat ijin ke Kementerian Perindustrian kalau mau impor, dengan menyertakan berapa yang ingin diimpor. Nanti, Kementerian akan mengeluarkan surat persetujuan teknis yang isinya adalah berapa kuota impor yang diperbolehkan oleh si perusahan.

Masalahnya, lisensi impor dengan pertimbangan teknis seperti ini adalah sesuatu yang coba dihapus oleh Neraca Komoditas. Nantinya, produk yang ada Neraca Komoditasnya akan bisa diimpor sesuai Neraca Komoditas tanpa perlu ada pertimbangan teknis. Jadi nanti cukup lewat Kementerian Perdagangan. Sekarang Neraca Komoditas udah mau diterapkan secara penuh pada 2023, tapi kenapa malah ngajuin pertimbangan teknis?

Satu lagi, menggunakan pertimbangan teknis maupun Neraca Komoditas juga bakal kena masalah di WTO krn itu basically quota restriction. Inilah yang terjadi pada ayam brazil. Sekarang tinggal apakah negara-negara eksportir utama ke Indonesia seperti China, Jepang dan Korea Selatan akan ngajuin dispute seperti Brazil atau tidak.

Kebijakan investasi: Expertise atau financing?

Terkait investasi, sepertinya investasi baru akan dapat keringanan pajak yang disebut tax holiday atau pengurangan pph badan. Insentif ini tentunya berangkat dari logika bahwa investasi asing akan membantu meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri. Lagi-lagi Vietnam sering dijadikan contoh sukses mengundang investasi asing dan meningkatkan ekspor. Kenapa? Karena investasi asing membawa tidak hanya kapital fisik, tapi juga know-how (baik manajerial maupun teknikal), dan juga jejaring produksi internasional (supplier dan buyer luar negeri). Investasi asing juga menyerap banyak tenaga kerja dan outsource macem-macem dari produsen domestik (spillover). Semua kelebihan ini membuat potensi kehilangan pajak akibat tax holiday jadi sepadan.

Ada hal menarik dari Gabel soal industri elektronika di Indonesia. Katanya, Indonesia di ASEAN ini udah cukup kompetitif. Namun, konsumen Indonesia masih low-end. Listrik konsumen masih didominasi 900 watt. Di Indo, AC paling laris tuh yang 1/2pk biar ga jeglek. Kulkas juga kapasitas kecil karena pekerja Indonesia banyak yang gajinya harian, makanya belanjanya harian. ga perlu kulkas gede-gede. Akibatnya, pasar elektronika di Indonesia ini bisa dianggap komoditas: gampang dikopi dan ga ada keunggulan dari diferensiasi fitur.

Kalau gitu, peran investasi asing dari sisi know-how teknis sebenernya hampir ga ada. Karena produknya masih low-end, fitur-fitur hi-end maupun kapasitas gede dengan produksi yang kompleks masih ga perlu-perlu banget. Kalau ga perlu-perlu banget know-how, harusnya investasi dalam negeri masih bisa dong?

Tapi emang invest di Indo kan susah ya. Interest rate gede, bank ga menerima peralatan produksi sebagai jaminan, dan pemerintah masih rajin ngeluarin surat utang dengan bunga menggiurkan (crowding out). Investor dalam negeri kekurangan likuiditas, sementara investor asing seneng-seneng aja masuk Indo karena interest rate di luar negeri rendah dan Bank Indonesia yang sangat-sangat menjaga nilai mata uang Indonesia agar selalu stabil (dengan naikin interest rate wkwkw). Crowding out makin nyata ketika sektor ekspor tidak bantu naikin likuiditas domestik.

Kebijakan yang fragmented

Balik lagi ke diskusi pertama: Perdagangan ini soal makro. Banyak banget yang harus dipikirkan. Kompetisi, efek domino, dst. Listrik mahal, pungli, dan proteksi industri hulu (seperti baja) sangat berperan penting. Ekspor sektor lain (CPO dan batubara, misalnya), jumlah dolar beredar, besarnya nilai tukar dan tingkat suku bunga sangat-sangat ngefek. Tentunya sulit menggunakan kacamata makro (jumlah impor) untuk membuat kebijakan di fenomena mikro (daya saing industri elektronika dengan hambatan perdagangan).

soal proteksi hulu, lucu juga mendengar India disebut-sebut otomotifnya lebih murah dari Indo meski Indonesia udah bener-bener menganakemaskan otomotif sejak 80an (dikasih banyak insentif dan dilindungi). Jgn lupa, Baja di India itu lbh murah dan kompetitif daripada di Indonesia. Kalau baja bisa murah, literally hampir semua industri lain juga akan lebih murah (termasuk bikin gedung dan barang modal lain).

Dari acara ini saya masih agak merasa kebijakan-kebijakan yang diambil masih lumayan fragmented dan kurang terkoordinir. Sepertinya kedua kementerian mesti ngobrol dengan institusi lain yang mengurusi aliran modal, suku bunga, energi, barang-barang ekspor seperti tambang, CPO dan batubara, dan laiiiiiiiiiin sebagainya. Ya wajar sih ya kan narsumnya dari Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, jadi kebijakan yang dibicarakan lebih fokus ke trade barriers.

Tapi sekjen Gabel mengatakan hal yang cukup menarik: Substitusi impor ini, kalau mau serius, harus dibicarakan secara nasional. Terlalu banyak hal yang berpengaruh. Terlalu sering saya dengar program substitusi impor 35% ini dikumandangkan Kemenperin tapi yang lain (Kemenkeu, Kementan, KemenESDM, Bank Indonesia, dll) sepertinya ga pernah.

Satu lagi. Tidak ada negara yang bisa mengekspor segala hal. Tidak semua sektor harus jadi primadona dan harus ada ekspornya. Tidak semua yang ekspornya gede di satu bidang (Vietnam di elektronika-nya) harus gede di bidang lain (Vietnam ga ekspor batubara ataupun CPO). Kebijakan yang inefisien malah akan berdampak pada berkurangnya kemampuan masyarakat untuk meningkatkan daya beli, dan kita akan kembali ke penjualan produk low-end.

BTW acara yg saya tonton bisa dilihat di bawah ini. Let me know what you think! Mention me at @imedkrisna

Krisna Gupta
Krisna Gupta
Dosen

Dosen di Politeknik APP Jakarta. Juga mengajar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Associate researcher di Center for Indonesian Policy Studies. Fokus penelitian tentang dampak kebijakan perdagangan dan investasi terhadap ekonomi Indonesia, terutama sektor manufaktur.

comments powered by Disqus

Terkait