Media dan politik: bagaimana TV mengubah demokrasi

Pendahuluan: Kunjungan ke Museum of Australian Democracy

Sekitar setahunan lalu, saya dan istri saya mengunjungi sebuah musium di Canberra yang namanya Museum of Australian Democracy. Musium ini menggunakan gedung parlemen Australia jadul (parlemennya sekarang kerja di gedung baru). Di dalam musium ini ada berbagai macam teks dan penjelasan soal kejadian-kejadian terkait politik dan demokrasi di Australia, juga para Perdana Menteri lama. Kalo cuma foto-foto di luar sih gratis, tapi kalau mau masuk cukup bayar 2$ per orang. Menurut kami sih worth it lah 2$ per kepala. Berikut ini saya sertakan beberapa foto kami berdua ^^

Foto di hall-nya
Foto di pintu depan

Special thanks ke temen istriku bernama Ennoy yang main ke Canberra dan ngajak kami jalan-jalan. Iya dia yang bertamu malah dia yang ngajak jalan-jalan saking magernya kami berdua wkwkw.

Selain bisa baca-baca dan liat-liat cuplikan video pidato politisi Australia dari jaman dulu, di museum ini juga ada semacam free tour gitu, namanya highlights tour. Tur gratis ini dipimpin oleh seorang volunteer di jam yang sudah ditentukan. Orang-orang yang mau ikutan cukup berkumpul di titik tertentu, waktu itu di hall-nya, berdiri ngerubungin tour guide-nya, dan ketika waktu yang ditentukan telah tiba, maka kita bareng-bareng jalan dipimpin si tour guide atau volunteer. Waktu itu, tour guide kami seorang bapak-bapak tua yang sayangnya kami lupa namanya (maaf kakek :sad:). Mari kita sebut saja beliau “Sang Kakek”.

Sang Kakek menemani kami keliling-keliling museum sambil menjelaskan ruangan-ruangan penting ketika museum itu digunakan sebagai gedung parlemen, juga menceritakan soal detik-detik menegangkan nan bersejarah dari setiap ruangan. Meski Tur berlangsung selama sekitar 45 menit, kami sangat terpukau dengan cara Sang Kakek bercerita, sehingga lelah tidak begitu berasa dan passion Sang Kakek terhadap dunia perpolitikan Australia sangat terasa.

Tour sang kakek menginspirasi saya. Pertama, saya mendapat inspirasi untuk melakukan hal yang sama di Indonesia ketika sudah tua nanti. Jadi volunteer untuk tur di gedung DPR, trus nunjuk “di sebelah kanan saya adalah bangku ketika yang terhormat Bapak Roy Suryo tertangkap kamera sedang tidur.” Kedua, saya terinspirasi ketika tur tiba di perhentian terakhir, di ruangan tempat kerja Perdana Menteri terakhir sebelum pindah ke gedung baru. Sang Kakek menyalahkan terciptanya Televisi (TV) sebagai titik balik kemunduran demokrasi Australia.

Apa hubungan antara TV dengan politik?

Kata Sang Kakek, sebelum adanya TV, demokrasi adalah soal public policy (kebijakan publik). Para politisi berdebat soal pro dan kontra sebuah kebijakan publik. Media massa ketika itu, yang bentuknya adalah sebagian besar koran dan radio, memberitakan perdebatan kebijakan publik antar politisi. Masyarakat pun tidak semua ikut berdebat. Menurut Sang Kakek, hanya beberapa orang terdidik yang punya akses ke koran (dan reading comprehension-nya mumpuni) yang ikutan perdebatan kebijakan publik. Alhasil, ketika pemilihan umum, semua memilih orang yang kebijakannya bagus.

Ketika TV tercipta, demokrasi berubah menjadi soal personality. Sejak adanya TV, poitisi lebih tertarik memunculkan wajahnya daripada berdebat soal kebijakan publik. Mungkin perdebatan ada ya, tapi kata Sang Kakek, fokus kampanye mulai pindah dari kebijakan publik ke personaliti sang calon. Pemilu menjadi tentang kontes popularitas figur, bukan lagi tentang kebijakan publik.

Keluhan Sang Kakek soal TV kok seperti keluhan saya soal media sosial ya. Ha ha ha ha.

Anyway, kembali ke cerita TV dan politik, saya jadi penasaran dong apakah concern Sang Kakek itu bisa digeneralisir atau tidak. Ternyata bukan hanya Sang Kakek yang berpikir demikian. Artikel dari David Kaiser ini menceritakan hal yang sama. Menurut Om David, TV membantu masyarakat melupakan masalah sebenarnya dan fokus ke kebahagiaan fana. Lebih buruk, TV membantu menciptakan demagogue, politisi yang pencitraannya sempurna, tapi aslinya tidak kompeten. The Apprentice bahkan dituding menjadi penyebab kuat menangnya Donald Trump dalam pilpres Amerika Serikat tahun 2016.

Artikel dari Matt Sailor ini mengatakan hal yang serupa. TV membantu politisi berbicara face-to-face dengan jumlah jema’ah yang jauh lebih banyak daripada media lain di jaman dulu. TV juga membantu membuat kampanye yang kurang faktual dan lebih negatif dibandingkan media lain ketika itu. Dan ya, Pak Matt juga menyimpulkan TV membantu menciptakan kontes popularitas di antara kandidat, bukannya kontes kebijakan publik.

Ada beberapa artikel lain yang bisa digugel, dan sebagian besar memiliki nada yang serupa. Sayangnya saya tidak berkeinginan berkomitmen ke jurnal akademis karena males wkwk. Tapi di kampus saya, ada seorang mahasiswa PhD yang meneliti peran TV dalam membangun persepsi seseorang akan ketimpangan, namanya Chris Hoy. Dan hasil awal beliau sih menyatakan ada korelasi positif.

Kira-kira kenapa bisa gitu ya? Apa karena media visualisasi lebih banyak fiturnya? Tidak seperti koran, di TV, kita bisa melihat bahasa tubuh (body language) dari si politisi yang sedang pidato, dan bahasa tubuh merupakan hal yang, sadar atau tidak, penting. Malah mungkin lebih penting daripada bahasa verbal. Mungkin juga di TV, karakteristik seperti ganteng, cantik, imut, tinggi, gitu bisa lebih dieksplorasi daripada di koran. Jadi inget katanya Pak SBY bisa menang salah satunya karena ganteng dan tinggi.

Memang kalo kita lihat di sini, sepertinya buku seringkali lebih seru daripada adaptasi filemnya. Menurut artikel ini, salah satu penyebabnya adalah, kalo baca buku, kita membayangkan sendiri visualisasi adegan di dalam buku itu, dan mungkin setiap orang membayangkan hal yang berbeda-beda. Ruang untuk berimajinasi lebih terbatas di film. Orang yang mukanya pas-pasan kayak saya mungkin lebih baik menulis daripada nge-vlog. Siapa tau orang yang tidak tau muka saya, pas baca tulisan saya mbayanginnya orangnya ganteng. begitu liat aslinya langsung ilfil :sad:

Haduh sotoy banget gw wkwk. BTW, Kalau anda ngutik-ngutik soal TV (atau peran sosmed) dalam demokrasi dan politik, saya akan sangat senang jika anda mau sharing atau minimal ninggalin komen!! Thanks before!!

Akademisi kebijakan publik yang tidak ikut ber-evolusi

Tentu saja sebagai akademisi yang berkutat di kebijakan publik, saya jadi ikutan berefleksi. Katakanlah benar evolusi media mengubah cara kita berpolitik dan berdemokrasi. Bagaimana dengan akademisi? Ketika saya membaca soal Adam Smith, Alfred Marshal, Hicks, Arrow, Slutsky dan lain sebagainya, tidak terlintas sedikitpun di benak saya soal siapa mereka ini. Sukunya apa. Jenis kelaminnya apa. Tua, muda, gendud, cantik? Doyan makan pete? Pebinor? Gay atau bukan? Ga tau! Dan ga peduli juga sih. Gak keluar di ujian soalnya.

Pun demikian ketika membicarakan kebijakan publik. Kalau dipikir-pikir, akademisi kayaknya masih jalan di tempat soal membicarakan kebijakan publik. Mungkin ada saja dari kami yang mulai ketularan masyarakat: fokus di figur dan bukan di kebijakan, Tapi sepertinya akademisi secara umum masih fokus ke isu dan bukan ke tokoh. Di jurnal-jurnal kebijakan publik, pasti penulis-penulisnya masih fokus membicarakan kebijakan yang diambil si tokoh, bukan si tokoh itu sendiri. Bahasa di jurnal akademis selalu netral dan jauh berbeda dibandingkan di twitter, misalnya.

Jangan-jangan ini terjadi karena akademisi masih sebagian besar berkutat di media tulisan. Di artikel jurnal berindex skopus. Mungkin jika aktivitas di media lain, seperti TED Talk, ngetwit, dan lain sebagainya, dihitung ke dalam angka kredit akademisi, mungkin akademisi bisa ikut berfokus pada tokoh. Mungkin kami juga jadi bisa nyinyir, berantem, maki-maki, dan twitwar dengan orang tak dikenal, dan tidak fokus ke diskusi soal pro-kontra kebijakan. Jika twitwar masuk angka kredit, mungkin akademisi juga akan ikut ber-evolusi bersama masyarakat lain, dan lebih paham bagaimana cara berpikir di luar menara gading.

Ok saatnya twitwar!

Meski demikian, banyak sekali dorongan untuk akademisi memanfaatkan platform non tulisan. Di kampus saya misalnya, mempromosikan riset kita di media sosial sangant di-encourage. Pun sekarang udah ada banyak video berbentuk TED talk gitu, dan kita telah mengenal celebrity scientists seperti Dawkins dan Neil deGrasse Tyson. Di Indonesia, ekonom paling celeb mungkin cuma Faisal Basri Batubara, itupun gak ngehitz-ngehitz amat. Mungkin bentar lagi kita bisa pelan-pelan ber-evolusi. Gak sekarang. Mungkin 5 tahun kali ya?

Krisna Gupta
Krisna Gupta
Dosen

Dosen di Politeknik APP Jakarta. Juga mengajar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Associate researcher di Center for Indonesian Policy Studies. Fokus penelitian tentang dampak kebijakan perdagangan dan investasi terhadap ekonomi Indonesia, terutama sektor manufaktur.

comments powered by Disqus

Terkait