Resensi buku "How the World Become Rich: the Historical Origins of Economic Growth"

karya Mark Koyama dan Jared Rubin

Saya barusan aja beres baca buku How the World Become Rich: the Historical Origins of Economic Growth.

Buku ini ditulis oleh dua economic historian yang sangat mumpuni di bidangnya. Buku ini membahas tentang bagaimana dunia ini menjadi sejahtera. Bahwa secara umum, progres umat manusia ini sangat luar biasa. Orang termiskin di bumi saat ini bahkan lebih punya standar hidup yang lebih baik daripada orang terkaya jaman medieval dulu. Contohnya, banyak penyakit yang membunuh bangsawan jaman dulu sudah ada treatmentnya zaman sekarang. Tentu tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada kemiskinan yang harus dientaskan, dan Koyama & Rubin mengatakan bahwa belajar dari sejarah dapat menawarkan solusi mensejahterakan dunia ini lebih jauh lagi ke depannya.

Buku ini dibuka dengan bagian satu yang berisi bab-bab tentang penjelasan beberapa faktor yang menjadi syarat sebuah negara menjadi sejahtera. Bagian satu ini seperti sintesis dari berbagai buku-buku serupa yang mungkin anda kenal, seperti bukunya Acemoglu dan Diamond. Beberapa penjelasan dipretelin seperti misalnya faktor geografis, demografi, kolonisasi, institusi dan budaya.

Bagian berikutnya adalah tentang gabungan faktor-faktor tersebut sebagai penjelas kenapa revolusi industri pertama terjadi di Inggris, dan bukan di negara lain. Menurut Koyama & Rubin, sangat penting mengetahui kenapa di Inggris dulu, karena revolusi industri inilah yang bener-bener mengangkat derajat umat manusia menuju sustained economic growth. Ada banyak wilayah dan negara yang pernah mengalami masa-masa kejayaan seperti Roma, Ottoman, dan kekaisaran China, tapi nggak ada yang bisa kayak Inggris. Kenapa revolusi industri gak lahir di sana? Malah di Inggris yang notabene hampir selalu lebih kismin sepanjang sejarah pra-industri?

Saya sangat suka cara Koyama & Rubin bercerita. Mereka menghindari bahasa-bahasa yang ribet, sehingga penjelasan-penjelasannya sangat mudah dimengerti. Transisi antar chapter sangat mengalir, terutama di bagian 2. Setelah mereka membahas kenapa Inggris, mereka membahas kenapa bukan di tempat lain. Lalu menuju kenapa abis itu Eropa secara keseluruhan, lalu Amerika Serikat, dan terakhir Asian Tigers (Jepang, Korsel, Hongkong, Taiwan dan Singapura).

Karena caranya bercerita yang sangat mengalir, menurut saya buku mereka juga sangat cocok dibaca oleh masyarakat umum. Mungkin beberapa penjelasan mereka sudah merupakan makanan sehari-hari bagi para ekonom, terutama ekonom pembangunan. Tapi pun buat ekonom, sintesis yang mereka lakukan tetap sangat membantu dalam framing faktor-faktor yang memengaruhi pembangunan, terutama dalam menjawab kenapa Inggris duluan.

Tentu saja sebagai orang Indonesia, pikiran saya selalu me-relate isi buku ini ke konteks Indonesia. Mereka sekali mengutip tentang Indonesia ketika membahas pentingnya infrastruktur dan kolonialisme terhadap pertumbuhan ekonomi. Mereka mengutip riset dari Dell & Olken (2022) 1 yang hasilnya adalah daerah di Jawa saat ini yang pertumbuhan ekonominya paling maju adalah daerah yang dulu menjadi jalur logistik industri gula. Peninggalan kolonial ini menjadi faktor penting kenapa suatu daerah menjadi lebih kaya dibanding daerah lainnya. Rubin & Koyama juga bilang bahwa setelah merdeka, kaum elit di negara tersebut cenderung melanjutkan institusi warisan kolonial alih-alih membubarkannya. Alias, ganti penjajah aja, dari dijajah orang asing jadi dijajah bangsa sendiri wkwk.

No, seriously, mereka juga bilang bahwa trust yang dimiliki antar warga akan sangat rendah di negara bekas jajahan kolonial yang warga lokalnya ikut bantuin penjajah (jadi proxy leader, atau jadi penyalur budak, dst). Padahal, trust ini yang sangat penting untuk memastikan suatu negara dapat membuat institusi demokrasi yang baik atau tidak.

Ya, di buku ini, Koyama & Rubin menekankan pentingnya memiliki institusi yang membatasi kekuasaan eksekutif. Penguasa yang kebebasannya dibatasi biasanya lebih jarang ngemplang hutang sehingga kalo ngutang bisa dapat bunga lebih rendah. Penguasa yang dibatasi juga jadi punya keterbatasan untuk sembarangan deklarasi perang & ga bisa asal membatasi inovasi (misalnya karena bertentangan dengan ideologi si penguasa). Dengan kata lain, negara maju biasanya adalah negara yang, mengutip Sandiaga Uno, “Ora Iso Sak Penake Dewe!” (beda konteks dikit. gpp. wkwkkwkwkwkw)

Nah, Salah satu alasan kenapa Inggris bisa kaya menurut mereka adalah karena adanya sistem parlementer para bangsawan dan pengusaha yang membatasi kekuasaan raja. Meskipun parlemen ini juga ada di Spanyol dan Portugis, tapi kekuatan parlemen dalam membatasi kuasa Raja & Ratu di dua negara tersebut tidak sebaik Inggris dan Low Countries (Belanda, Belgia, Luxemburg).

Tidak hanya membatasi penguasa, mereka juga menekankan pentingnya warga yang terdidik. Alasan kenapa negara-negara dengan kepercayaan Protestan bisa lebih sukses, menurut mereka, adalah karena negara-negara Protestan membantu proses peningkatan human resources karena ngajarin warga membaca. Sebenernya tujuan ngajar membaca adalah biar orang-orang pada baca bible. Ternyata berguna juga buat baca yang lain-lain sehingga informasi dapat menyebar lebih cepat. Di samping itu, negara berbasis Protestan juga ternyata lebih sekuler.

Oh ya, pas Koyama & Rubin mendeskripsikan pemikiran Mao Zedong tentang pentingnya punya ekonomi yang tersentralisasi dan mengendalikan harga, ntah kenapa saya teringat sama para petinggi di Indonesia belakangan ini Hahaha. Semoga ga sama kejadiannya. Serem soalnya zaman Mao itu tuh.

Intinya, buku ini sangat enjoyable untuk dibaca. Saya sangat sarankan bapak ibu dan teman-teman untuk baca ini karena ini tuh beneran semacem sintesis ekonomi pembangunan banget, dalam 1 paket yang tipis (cuma sekitar 170an halaman) tapi sangat padat dan terkini. Buku ini juga informatif banget dan banyak sitasi menarik yang bisa ditelusuri jika tertarik mendalami. Misalnya mau mendalami soal dampak demografi ke growth, baca aja sitasi-sitasi di bab demografi. Bahasanya ga ribet juga, naratifnya mashook. Pokoknya cakep deh. Kalo mau baca 1 buku saja tentang proses peningkatan kesejahteraan umat manusia, ambil buku ini!

N.B.: Dell & Olken (2020) ini melengkapi 2 artikel lain tentang Indonesia yang menurut saya juga sangat menarik, yaitu Kuipers (2022) 2 dan Bazzi, Koehler-Derrick dan Marx (2020) 3. Wajib baca kalo suka institutional economics maupun sejarah.


  1. Dell, Melissa, and Benjamin Olken. (2020). β€œThe Development Effects of the Extractive Colonial Economy: The Dutch Cultivation System in Java.” Review of Economic Studies 87, no. 1. ↩︎

  2. Kuipers, N. (2022). The Long-Run Consequences of The Opium Concessions for Out-Group Animosity on Java. World Politics, 1-38. https://doi.org/10.1017/S0043887122000041 ↩︎

  3. Bazzi, S., Koehler-Derrick, G., & Marx, B. (2020). The Institutional Foundations of Religious Politics: Evidence from Indonesia. The Quarterly Journal of Economics, 135(2), 845-911. https://doi.org/10.1093/qje/qjz038 ↩︎

Krisna Gupta
Krisna Gupta
Dosen

Dosen di Politeknik APP Jakarta. Juga mengajar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Associate researcher di Center for Indonesian Policy Studies. Fokus penelitian tentang dampak kebijakan perdagangan dan investasi terhadap ekonomi Indonesia, terutama sektor manufaktur.

comments powered by Disqus

Terkait