Kebijakan Perdagangan Indonesia di tengah COVID-19

Hari ini saya lihat di twitter sebuah kerisauan atas berita tentang di kompas online. Beritanya berbunyi bahwa Indonesia akan tetap mengekspor Alat Pelindung Diri (APD). Konteksnya, apalagi kalau bukan COVID-19: di tengah pecahnya pandemi, Indonesia sendiri membutuhkan banyak APD. Kok bisa-bisanya malah mengekspor ke negara lain?

Kenapa larangan ekspor tidak semudah pemikiran kita?

Kebijakan melarang ekspor sangat terdengar intuitif: kalau negara kita sendiri butuh, kenapa ekspor? Sebaiknya kita memenuhi kebutuhan dalam negeri dahulu sebelum melakukan ekspor. Bahkan, kita bukanlah satu-satunya negara yang melakukan larangan ekspor. Amerika Serikat (AS) pernah memaksa 3M, produsen masker ternama, untuk melarang ekspor masker ke negara lain. Uni-Eropa melakukan hal yang sama, melarang ekspor barang-barang kebutuhan melawan COVID-19.

Indonesia melakukan pelarangan ekspor tersebut melalui Permendag Nomor 31 Tahun 2020. Saya pernah menuliskannya di artikel blog saya yang lain. Tapi di artikel itu kayaknya masih lartas yang lama. Sekarang ekspornya udah diperluas sampai ke pelarangan termometer dan eitil alkohol.

Tentu saja hal ini memiliki maksud yang baik. Sayapun sangat sedih melihat teman-teman nakes yang kesulitan APD. Pun, apapun yang saya tulis di sini juga tidak mengubah fakta bahwa export ban tetap sudah dilakukan, dan beberapa APD ekspor yang tetap dilepas oleh Bea Cukai meski ada export ban tersebut. (Catatan: Bea Cukai ada di bawah kendali Menkeu, bukan Mendag). Tulisan ini akan sedikit menawarkan perspektif kenapa Menkeu memutuskan tetap mengekspor sebagian APD tersebut.

Kalo menurut tulisan tersebut, alasan utamanya adalah karena pesanan APD tersebut sudah terikat kontrak jual beli. Tentu saja mematuhi kontrak adalah sesuatu yang penting. Mungkin kontrak ini sudah dibuat dari lama, sebelum aturan permendag keluar. Bisa jadi juga, kontrak ini cuma sedikit dibandingkan total ekspor APD kita biasanya.

Bisa jadi juga, eksportir kita adalah makloon, alias penjual jasa. Dalam hal ini ya jasa jahit. Makloon beda dari jualan baju. Kalo makloon, bahannya dari importir. Mereka kirim bahan ke penjahit, kasih spek, kita tinggal jahit, lalu dikirim balik ke mereka. Kita dibayar jasa jahitnya aja, karena bahan dari mereka. Yes, inilah praktik tukang jahit biasa ketika anda jahit blazer atau jahit sarimbit kawinan. Kalo tiba-tiba penjahitnya bilang “eh ini baju buat saya aja yah. kebetulan saya juga mau kawin jadi butuh sarimbit”, kan bete kita.

Tapi kedua paragraf di atas spekulasi sih. Bisa jadi saya salah. Mohon koreksi. hehe. Dua paragraf di atas mengilustrasikan kenapa ekspor APD tetap dilakukan.

Tambahan: ada niii jawaban lengkap soal export APD dari teman saya bernama Fathoni. Makasi ya mas Fathoni.

Tambahan lagi: benar export APD adalah hasil makloon (ie bahannya dari importir). Cek berita ini.

Tetapi di luar itu, memang secara umum larangan ekspor punya potensi masalah sendiri.

Masalah umum dari larangan ekspor

Pada kasus 3M vs AS, Akhirnya AS setuju agar 3M tetap boleh ekspor. Uni Eropa mendapatkan banyak kritikan akibat export ban-nya (salah satunya dari PIIE (btw artikel PIIE ini seru. banyak datanya)), sampai pada akhirnya EU pun akhirnya melunak dan merelaksasi larangan ekspornya. Alasannya banyak. Salah satunya adalah kemanusiaan. Saat ini, seluruh dunia butuh, gak cuma AS atau EU. 3M bilangnya ingin tetap membantu negara-negara yang membutuhkan, seperti Amerika Latin dan negara lainnya.

Masalah berikutnya adalah supply chain. Membuat APD yang bener, yang sesuai standar, yang bagus, memerlukan bahan baku yang tidak sembarangan. Ini saya gak tau-tau banget sih, tapi menurut artikel ini, setidaknya untuk masker, bahan bakunya agak susah. Tentu aja kita bisa ganti pake kain, tapi mana mungkin kita merelakan nakes di medan perang pakai masker dan APD dengan bahan yang gak medical grade?

Ya, meskipun kita ahli dalam menjahit APD dan membuat etanol, tapi kita tidak ahli dalam hal lain. Masker kita impor dari RRT sekitar 80%. Pun juga dengan surgical gown, lebih dari 50% kita impor dari RRT. Ini belum membicarakan barang-barang lain seperti bahan baku APD itu sendiri, alat tes COVID-19, dan ventilator. Beberapa negara seperti Korsel, Jepang dan RRT tetap menyalurkan berbagai barang penting bagi Indonesia. Apa yang terjadi kalau mereka gak mau ekspor ke sini gara-gara kita ga mau bantuin mereka bikin APD? Bagaimana kalau gara-gara mereka juga kekurangan APD, mereka jadi gak sanggup meningkatkan produksi untuk bantuin kita?

Bahkan, Kemendag membuat Permen lain yang memudahkan impor barang-barang tersebut. Sekali lagi, secara intuitif, permudahan impor ini baik. Tapi ini sangat tergantung dari reaksi partner dagang kita. Ini belum bicara impor pangan lho. Saat ini, impor pangan yang dipermudah baru bawang putih dan bawang bombay. Beras? Garam? Gula?

Impor berarti valas. Kalau kita butuh impor, berarti kita bakal butuh valas untuk membayar barang-barang impor tersebut. Saat ini, BI dan Kemenkeu sudah berusaha mengamankan stok dolar. BI masih punya devisa lumayan berkat kontrol ketat sektor finansial. Kemenkeu udah mulai jualan Bonds berdenominasi dolar AS. Kita dah punya currency swap dengan BI-nya AS. Tapi di saat begini, pertanyaan “apakah devisa kita cukup” akan selalu menghantui para pembuat kebijakan. Ekspor membantu Indonesia punya stok dolar, membantu me-manage nilai tukar rupiah.

Di bagian paling bawah, saya coba ngumpulin barang-barang yang terkait dengan COVID-19 berdasarkan penerawangan WCO dan GTA. Saya tambahkan kolom yang menunjukkan kebijakan ekspor-impor Indonesia, serta nilai ekspor-impornya dari tahun 2015-2019. Anda dapat lihat di situ bahwa meskipun kita surplus di APD dan etil alkohol, tapi yang lain sangat bergantung impor.

Kita membutuhkan dunia sebagaimana dunia membutuhkan kita. Satu negara sembuh akan sia-sia aja jika negara lain masih sakit, setidaknya sampai datangnya vaksin. Pun ketika vaksin sudah jadi, kemungkinan besar kita akan mengimpornya. Mudah-mudahan gak dilarang ekspornya oleh negara produsen.

Ini memang pilihan yang sulit. Sangat sulit. Di saat sulit memang menyelamatkan diri sendiri menjadi pilihan dan solusi yang tidak terhindarkan.

Saya sendiri termasuk orang yang bermahzab “kalau masalahnya bukan perdagangan, sebaiknya diselesaikan tanpa menggunakan kebijakan perdagangan”. Kalau masalahnya produksi, tingkatkan-lah produksi. Kalau masalahnya faskes dan nakes, tingkatkanlah faskes dan nakes. Kalau masalahnya di distribusi/logistik, tingkatkan logistik. Kebijakan perdagangan agak sulit menjadi solusi utama karena kebijakan perdagangan dapat menimbulkan masalah baru yang tidak kalah penting untuk ditanggulangi.

Kekurangan faskes dan nakes adalah masalah lama yang menghantui Indonesia. Sudah berkali-kali muncul di publikasi WHO maupun cerita kolega yang mendalami health economics. Logistik juga sepertinya masalah. Sulit untuk mengetahui dengan pasti siapa memproduksi apa, RS mana butuh berapa barang apa, dll. Ketepatan data pemerintah seringkali menjadi sorotan. Gap demand-supply juga sudah pasti memunculkan masalah meningkatnya insentif untuk menimbun / hoarding.

RRT sudah mengalami pandemi ini sejak awal Januari. Kita punya cukup waktu untuk bereaksi, sebenarnya. Sekarang semua sudah terlanjur. Keputusan berat terpaksa diambil. Keputusan yang terlambat dibuat selalu adalah keputusan yang paling berat. Mencegah selalu lebih baik daripada mengobati.

Jadi harus bagaimana?

Sekarang sudah gak relevan bicara mencegah. Bagaimana mengobatinya selain dengan larangan ekspor?

Mungkin cara terbaik adalah dengan menggenjot produksi. Saat ini, masalah utama sebenarnya adalah adanya excess demand, alias ada gap antara produksi dan konsumsi. Biasanya, gap ini kita pertemukan dengan perdagangan internasional–ekspor kelebihan produksi, dan impor kekurangan produksi. Tapi gara-gara pandemi global, seluruh dunia kekurangan. Akibatnya, kita tidak bisa mengandalkan kelebihan produksi dari negara lain, wong semua kekurangan kok.

Di sinilah peningkatan produksi menjadi solusi terbaik. Kalo semua kurang, maka mari kita buat lebih banyak. Banyak negara melakukan ini dengan mengubah orientasi produksi banyak pabrik: yang tadinya bikin parfum jadi bikin disinfektan, tadinya bikin cat jadi bikin masker, dll. Untuk melakukan ini, negara harus menyediakan insentif yang tepat. Cheap loan, purchasing guarantee dalam jangka panjang (paling tidak cukup untuk balik modal peningkatan kapasitas), dan lain sebagainya. Saya pernah bahas jurus ini di tulisan saya yang lain.

Jika banyak penjahit Indonesia sanggup jalan sendiri hanya dari koordinasi netizen tanpa ada insentif apapun dari pemerintah, bayangkan kalo semua dikoordinasi! Pasti jadi makin efisien!

Kalau solusinya kekurangan produksi, maka perdagangan internasional malah menjadi semakin penting lagi. Selama ini, Global Value Chain (GVC) menjadi solusi banyak negara karena efisien. Negara yang pandai bikin bahan bekerjasama dengan negara yang pandai menjahit. Negara yang pandai bikin software dan semi-conductor, bekerjasama dengan negara yang pandai bikin material dan pandai merakit. Indonesia pandai bikin APD, maka kita tingkatkan kapasitas menjahit kita untuk seluruh dunia, sementara inputnya dan barang lain seperti testing kit dan ventilator kita beli dari negara lain. We need even more trade, not less!!

Kerjasama dengan negara lain menjadi kuncinya. Kita harus mulai nego dengan negara lain. Minimal bicara dengan pimpinan negara lain. Bilang kita perlu bantuan mereka, dan mereka perlu bantuan kita. Terdengar utopis?

Solusi kerjasama mungkin tidak menarik bagi orang-orang yang tidak suka bergantung dengan pihak lain. Saya sendiri tidak mampu bilang apakah sebaiknya kita ekspor atau tidak ekspor. Biarkan pengambil kebijakan aja yang pusing. Hehe. Saya cuma menawarkan sedikit perspektif dari sisi bu SMI aja. Saya nebak-nebak apa yang sedang beliau pikirkan. Wkwkwkw. Mudah-mudahan tulisan ini sedikit membantu. Kalau ada komen, kritik atau saran, tulis di bawah yaa atau mensyen aja di twitter.

Maaf ya Pak, Bu dokter dan Suster. Saya cuma bisa nulis. Mudah-mudahan anda semua tetap sehat dan semangat. Mudah-mudahan kita semua tetap sehat dan semangat. Jangan lupa lakukan apapun sebisa kita untuk mengurangi beban faskes dan nakes.

Stay at home if you can. Make it safer for those who can’t.

Krisna Gupta
Krisna Gupta
Dosen

Dosen di Politeknik APP Jakarta. Juga mengajar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Associate researcher di Center for Indonesian Policy Studies. Fokus penelitian tentang dampak kebijakan perdagangan dan investasi terhadap ekonomi Indonesia, terutama sektor manufaktur.

comments powered by Disqus

Terkait