Peranan Industri Manufaktur di Tengah Badai COVID19

Saya rasa sudah banyak yang membicarakan dampak COVID-19 baik secara kesehatan maupun terhadap ekonomi. Terakhir yang saya baca adalah dampak makro COVID-19 menurut modelnya Professor McKibbin dan mahasiswanya, Fernando. Mereka menggunakan beberapa shocks, diantaranya penurunan suplai tenaga kerja, meningkatnya risk premia, dan ongkos produksi. Kesemua variabel shocks tersebut tentu saja relevan, apalagi untuk manufakturing yang menyulitkan work from home karena pekerja pabrik harus mengoperasikan mesin dari lokasi pabrik.

Tentu saja permintaan juga jadi agak aneh. Orang saat ini mendadak menghargai barang-barang seperti toilet rolls, anti-septic, dan peningkatan mendadak makanan instan dan beras. Tapi dibanding itu semua, mungkin kebutuhan akan alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan dan anti-septik menjadi barang paling penting saat ini, terutama bagi faskes-faskes dan pegawai-pegawainya yang saat ini bertaruh nyawa untuk kita.

Di tulisan ini, saya ingin sedikit mengangkat fenomena menarik, yaitu berpindahnya fungsi produksi untuk beberapa pabrik untuk mulai memproduksi barang-barang yang biasanya mereka tidak produksi. LVMH, pihak dibalik Luis-Vuitton, Bulgari dan brand-brand yang saya ga pernah beli produknya itu, mengalih-fungsikan pabrik parfum dan kosmetiknya menjadi produsen anti-septik. BYD, pabrik di China yang biasanya bikin mobil listrik, mulai membuat pelindung wajah dan disinfektan. Nissan, GM, Rolls-Royce, Foxconn bahkan Airbus juga sepertinya akan melakukan hal yang sama, bantuin bikin ventilator, APD, dan disinfektan.

Semua ini masuk akal. Di tengah ketidak-pastian gini, orang gila mana yang sempet-sempetnya ngabisin tabungan buat beli mobil? Yield bonds aja bisa sampe negatif. Orang bakal beli bonds sampai yield negatif kan berarti beneran desperate for secure cash in the future toh? Mendingan pabrikan nge-shift produksi ke sesuatu yang lebih dicari market. Pemerintah otomatis bakal beli itu semua kok.

Pengalih-fungsian sementara pabrik ini sudah diiniasi berbagai pemerintah di berbagai belahan dunia, seperti Canada dan Inggris. Di China, 2,500 pabrik saat ini bikin masker, pabrik yang dulunya bikin benda lain.

Sejauh yang saya pahami, negara-negara lain masih meminta industri untuk bantuin bikin APD dan disinfektan tapi belum nawarin insentif (CMIIW). Kalau di Republik Rakyat Tiongkok (RRT), mereka menggunakan industrial policy untuk menambah insentif pabrik untuk pindah haluan ke bikin masker. Beberapa insentif tersebut diantaranya adalah subsidi, potongan pajak, pinjaman bebas bunga, dan percepatan perizinan. Kalo BUMN-nya sih mungkin disuruh aja bakal nurut yah. Tapi yang jelas, sepertinya dorongan insentif tersebut berhasil mengubah haluan produksi nasional mereka dengan cepat dan efisien di tengah krisis seperti ini.

Di linimasa sosial media saya, banyak seliweran postingan yang mengatakan bahwa faskes kita kekurangan APD. Kekurangan ini terjadi bahkan setelah Kementerian Perdagangan mengeluarkan aturan nomor 23 tahun 2020 tentang larangan ekspor sementara APD dan disinfektan. Kemungkinannya, produksi kita tidak sanggup menemui permintaan yang mendadak melonjak.

Banyak sekali masyarakat mencoba membantu. Saya lihat di Te eL ada banyaaaaak inisiatif bikin masker dari warga. contohnya inih dan reply-replynya

Tapi seandainya pemerintah ingin melakukan sesuatu, rasanya bisa.

Soal cheap/interest free loan, rasa-rasanya ini kewenangan BI atau OJK, untuk memastikan perbankan punya cukup liquiditas dan cukup sehat untuk menyuplai pasar. Insentif pemerintah, pemotongan pajak dan juga pengurangan bea masuk adalah kewenangan pemerintah, terutama Kementerian Keuangan. Kemenkes soal di penerbitan ijin atau standar alkes (kayaknya perlu ya?). Seingat saya, banyak barang tekstil kita memiliki komponen impor yang kena pembatasan oleh Kemendag. Jadi kalau mau, Kementerian Perdagangan mungkin bisa menerbitkan aturan yang memudahkan impor input masker. Yang menarik, kita udah keburu bikin larangan ekspor APD dan disinfektan. Kalau ternyata untuk meningkatkan produksi APD secara masif, kita harus mengimpor bahan bakunya, rasanya jadi gimana gitu ya. Malu gitu rasanya. Apalagi kalau ternyata nanti RRT sudah berhasil meningkatkan secara masif dan cepat produksi maskernya, dan malah kita yang perlu. hahaha sedih.

Kementerian Perindustrian sepertinya tidak terlalu banyak perannya, meskipun Kementerian di bidang manufaktur. Mungkin paling tidak bisa melakukan koordinasi dengan pabrik-pabrik yang mungkin bisa dialihkan, sekaligus meminta Kemenkeu dan Kemendag menyediakan insentif yang diperlukan. Tentu saja kalau ada subsidi bagi pabrik yang mengubah haluan sementara, kemungkinan besar penyalurnya adalah Kementerian Perindustrian. Jadi revisi anggaran juga mungkin bisa dilakukan. Tapi bagaimana prosesnya dan apakah bisa cepat, saya rasa tergantung birokrasi kali yah.

Akhir kata, saya mau mengajak teman-teman untuk usahakan stay di rumah. Jika anda bisa bekerja di rumah, maka bekerjalah di rumah. Sisakan ruang di jalanan untuk mereka yang tidak mungkin bekerja dari rumah. Jaga kesehatan sebaik mungkin, cuci tangan yang banyak, dan tingkatkan higienitas pribadi. Sisakan ruang di faskes bagi mereka yang benar-benar sakit. Saya rasa, ini semua sudah sangat membantu. Mudah-mudahan kita dapat melalui ini semua bersama.

Krisna Gupta
Krisna Gupta
Dosen

Dosen di Politeknik APP Jakarta. Juga mengajar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Associate researcher di Center for Indonesian Policy Studies. Fokus penelitian tentang dampak kebijakan perdagangan dan investasi terhadap ekonomi Indonesia, terutama sektor manufaktur.

comments powered by Disqus

Terkait