Makan siang ketoprak dan refleksi tentang Global Value Chain (GVC)

Ketoprak lezat buatan istri

Gambar di atas adalah gambar makan siang saya. Istri saya hari ini bikinin ketoprak untuk mengobati rasa kangen kami kepada masakan Indonesia. Saya tiba-tiba pengen bakwan dan istri saya dengan brilian mengatakan bahwa membuatnya menjadi ketoprak adalah ide bagus.

Mungkin ini adalah ketoprak terenak di dunia (kalimat ini berada di bawah pengawasan istri). But no, seriously, ketopraknya enak. Saya emang penggemar setia bakwan (atau bala-bala, tergantung anda orang mana), tapi mungkin yang bikin ketopraknya enak adalah bumbu pecelnya. Sambel kacangnya endeus banget. Cuma kurang pedes aja dikit.

Namun istri saya masih jauh dari koki. Tentu saja yang bikin enak adalah karena bumbu pecel-nya beli jadi, alias tidak bikin sendiri. Beberapa hari lalu kami pergi ke toko asia dan membeli bumbu pecel merek ini.

Bumbu pecel impor
Bumbu pecel impor

GVC dalam rumah tangga

Tentu saja istri saya bukanlah seorang maestro memasak. Bikin bumbu pecel butuh banyak sekali bahan-bahan yang diperlukan. Beda resep, beda pula bumbu yang harus disiapkan. Udah gitu katanya, bahkan kalau bahannya sama 100%, kalau yang ngulek beda tangan, maka rasanya juga akan berbeda.

Dengan kata lain, bikin bumbu pecel sendiri itu udahlah repot, mungkin bisa jadi lebih mahal daripada beli bumbu jadi, belum tentu lebih enak pula. Sementara itu, bumbu yang kami beli ini banyak banget sertifikatnya. Ada sertifikat halal, ada sertifikat ISO, ada pula HACCP. Kalau istri saya disuruh ngurus semua sertifikasi tersebut, wah keluar berapa duit?

Inilah salah satu kekuatan GVC. Dengan satu produsen saja, berapa banyak rumah tangga yang dapat memproduksi sendiri ketoprak mereka. Bahkan dengan bumbu pecel, anda bisa lebih fleksibel. Tidak harus bikin ketoprak, anda bisa bikin pecel sayur, pecel ayam, pecel lele, semua dengan 1 bumbu yang sama.

Bumbu pecel tidak hanya kompetitif (merknya banyak dan harganya murah-murah), tapi juga dapat disuplai ke rumah tangga bahkan di negara lain. Negara yang tidak banyak tukang pecel-nya jadi bisa menikmati pecel dengan mudah dan murah.

Memblokir impor bumbu pecel

Mungkin ada aja ya suami yang tidak suka kalau istrinya masak pakai bumbu jadi. Si suami maunya semua bahan-bahannya bikin sendiri. Munculah niat untuk melarang pembelian bumbu pecel. Tidak hanya itu, si suami juga berencana menganggarkan subsidi agar si istri bisa bikin semuanya sendiri: mulai dari nanam kacangnya, nguleg sendiri, sampai jadi ketoprak.

Anda bisa langsung bayangkan apa yang akan terjadi. Membuat bumbu pecel bukanlah sesuatu yang semua istri bisa lakukan dengan efisien. Hanya demi bikin bumbu pecel, berkuranglah waktu para istri untuk melakukan hal lain yang lebih produktif. Kalo istri saya saya kasih duit buat bikin bumbu pecel sendiri, mungkin yang akan dia lakukan adalah tetep beli bumbu pecel dan memakai duit sisanya untuk upgrade ketoprak jadi lebih mewah, misalnya nambahin ayam ke ketopraknya. Jadi pecel ayam donk?

Apalagi jika si istri ini super produktif. Jika dia ibu rumah tangga, mungkin waktu yang dialokasikan untuk ngurus rumah dan ngurus anak harus dikurangi demi bikin pecel. Jika istrinya wanita karir, berarti ya mengurangi waktunya untuk bekerja. Atau yaa yang dikurangi adalah waktu rebahan. Semua demi pecel buatan sendiri yang rasanya belum tentu lebih enak.

Namun mungkin beberapa rumah tangga memang sangat bangga dengan pecel buatan sendiri. Ya ndak papa juga. Mungkin dalam jangka panjang, skill istrinya akan meningkat dan jadi cukup jago untuk buka restoran pecel sendiri. Ya gpp sih bagus juga. Tapi ya tentu saja tidak semua wanita mau menjadi tukang pecel. Kalo semua wanita jadi tukang pecel, kerjaan lainnya siapa yang ngerjain? Lelaki? Meh.

Welfare effect bagi para tukang pecel?

Mungkin yang paling sebel kalau ada pabrik pembuat bumbu pecel adalah tukang pecel. Kalau semua rumah tangga menyuplai pecel dari beli bumbu jadi, laba usaha para tukang pecel bisa menurun karena kastamernya pada bikin pecel sendiri. Tapi jika memang dari awal si suami adalah pelanggan pecel, ga mungkin juga dia jadi anti beli pecel di luar wkwk. hipokrit dong.

Tapi tentu saja tukang pecel terbaik akan mau bersaing dengan bumbu pecel buatan. Membuatnya lebih enak dan lebih spesial, ditambahin isi yang lebih ciamik, jual paket pecel+kopi enak, atau menyediakan free wi-fi juga bisa. Semua ini akan membuat konsumen lebih bahagia.

Tentu saja rumah tangga saya bukanlah anti impor-impor klub. Memblok impor bumbu pecel hanya merugikan rumah tangga yang pengen bikin makanan berbasis bumbu pecel. Bikin pecel sendiri bagi beberapa rumah tangga tidaklah efisien dan malah mengurangi waktu, usaha dan biaya yang dapat dialokasikan untuk kegiatan yang lebih produktif.

Dan percayalah, bumbu pecel enak itu sangat menolong. wkwkw. udah ah. saya mau lanjut makan pecel dulu. Sampai lain waktu!

Krisna Gupta
Krisna Gupta
Dosen

Dosen di Politeknik APP Jakarta. Juga mengajar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Associate researcher di Center for Indonesian Policy Studies. Fokus penelitian tentang dampak kebijakan perdagangan dan investasi terhadap ekonomi Indonesia, terutama sektor manufaktur.

comments powered by Disqus

Terkait