Perdagangan dan COVID-19: kelemahan comparative advantage di tengah coronavirus?

COVID-19 sepertinya masih akan berlanjut. Update terbaru mengatakan bahwa saat ini kita berada di 686 kasus. Seiring dengan meningkatnya testing, kasus ini akan meningkat dengan lebih cepat lagi. Dengan kondisi seperti ini saja, tenaga kesehatan kita seperti kesulitan mengatasi kekurangan Alat Pelindung Diri (APD) seperti baju Hazmat dan masker.

Noah Smith di kolom terbarunya di Bloomberg mengatakan bahwa saat ini Amerika Serikat (AS) juga kekurangan APD dan swab. Alasan utamanya? Amerika Serikat tidak membuat sendiri barang-barang tersebut, melainkan mengandalkan suplai dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Di tulisan tersebut, Noah menunjukkan jarinya pada teori comparative advantage. Comparative advantage adalah teori standar di ekonomi internasional yang dicetuskan oleh David Ricardo. Teori ini intinya mengatakan bahwa ekonomi akan lebih efisien jika sebuah negara berkonsentrasi memproduksi barang dan jasa yang paling ia kuasai, dan menjualnya ke seluruh dunia. Barang lainnya tinggal impor (karena negara lain lebih baik dalam membuat barang impor tersebut, comparatively speaking). Dalam kasus ini, RRT Merupakan produsen APD yang cukup efisien dibandingkan AS. Daripada menghabiskan tenaga kerja dan kapital untuk bikin masker, lebih baik bagi ekonomi AS untuk berkonsentrasi ke produksi healthcare service, di mana memang AS merupakan salah satu pionir inovasi kesehatan di dunia. Maskernya tinggal ngimpor ke negara lain.

Masih menurut Noah, di tengah krisis seperti ini, demand dunia berubah jauh. Saat ini tiba-tiba permintaan akan APD meningkat jauh di mana-mana. Beberapa negara (termasuk Indonesia) bahkan melakukan larangan ekspor APD demi memberi prioritas APD pada negaranya masing-masing. Ketika ini terjadi, AS tidak siap untuk membuat sendiri APD karena selama ini menggantungkan diri pada RRT. Jika selama ini AS bisa buat sendiri, maka seharusnya meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan yang mendadak naik ini tidak sesulit sekarang.

Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Indonesia sendiri? Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Larangan Sementara Ekspor Antiseptik, Bahan Baku Masker,Alat Pelindung Diri, dan Masker (download di sini demi mengamankan pasokan barang-barang penting ini. Tapi ternyata meskipun dengan larangan ini, tenaga kesehatan (nakes) tetap saja kekurangan pasokan APD. Bahkan, Indonesia mengimpor bantuan dari RRT berupa 12 ton APD. Untung RRT kagak ngelarang ekspor APD.

Jadi ya, sepertinya memang saat ini Indonesia pun harus bergantung pada negara lain demi melawan COVID-19 ini, dan sepertinya memang baru RRT yang paling siap meningkatkan produksinya dalam waktu singkat.

Balik ke comparative advantage, bagaimana comparative advantage kita dalam hal alat kesehatan? Saya mencoba mengilustrasikannya ke tabel 1. Tabel 1 berisi produk-produk yang dilarang sementara ekspornya berdasarkan Permendag 23 2020. Sebelahnya saya tambahin statistik ekspor dan impor yang saya dapat dari trademap.org. Sebenarnya untuk menganalisis comparative advantage, kita perlu data ekspor dan impor semua jenis barang. Untuk mempermudah, saya pakai ekspor impor saja. Ekspor tinggi menandakan kita bagus dalam hal produksi barang-barang tersebut. Impor RRT saya tambahkan di sana untuk merefleksikan ketergantungan terhadap RRT.

tabel 1. Daftar larangan export berdasarkan HS dan ekspor dan impor-nya pada 2018, USD
No Barang HS Total Ekspor Total Impor Impor dari RRT Impor dari RRT (%)
A1 antiseptik *handrub* berbasis alkohol Ex.3004.90.30 2.697 2.085 144 6,91
A2 antiseptik *handrub* dengan campuran ter batubara dan alkali Ex.3808.94.10 - 146 0 0
A3 antiseptik *handrub* dalam kemasan aerosol Ex.3808.94.20 0 154 29 18,83
A4 antiseptik *handrub* lainnya Ex.3808.94.90 13 6.831 190 2,78
B1 Bahan baku masker dengan filamen buatan Ex.5603.11.00 36.159 90.458 27.262 30,14
B2 Bahan baku masker tidak dengan filamen buatan Ex.5603.91.00 4.557 10.400 3.880 37,31
C1 APD Medis Ex.6210.10.19 259 45 7 15,55
C2 APD Bedah 6211.43.10 9.965 107 61 57
D1 Masker Bedah 6307.90.40 506 1.636 1.416 86,55
D2 Masker lainnya (*nonwoven*) Ex.6307.90.90 13.3274 19.066 11.306 59,3
Sumber: jdih.kemendag.go.id dan trademap.org

Kalau dilihat dari statistik tahun 2018 ini, pemblokiran sementara ekspor sepertinya adalah langkah yang tepat. Penjahit kita sakti-sakti. Kalau dilihat dari APD, jelas kita mengekspor jauh lebih banyak ke negara lain daripada mengimpor. Seharusnya, larangan ekspor ini dapat membantu Rumah Sakit dan faskes lainnya untuk mendapatkan APD.

Namun untuk barang lain, kesimpulan ini agak sulit ditarik. Untuk bahan baku, kita jelas mengimpor lebih banyak daripada mengekspor. Untuk masker bedah malah bukan hanya gedean impor, sebagian besar impor tersebut datang dari RRT. Yang lucu adalah, larangan ekspor ini dilakukan lantaran ekspor masker bedah dari Indonesia mendadak meroket. Padahal seperti kita lihat, masker bedah atau HS 6307.90.40 ini malah banyakan impor dari RRT daripada ekspor, setidaknya pada 2018 sesuai data di tabel 1.

Apakah ujug-ujug pada 2019 dan 2020, pabrik masker kita langsung banyak dan super produktif? bisa jadi demikian. Tapi ada beberapa alasan lain yang saya rasa lebih masuk akal: melonjaknya harga. Reportase berita-berita hanya melaporkan peningkatan nilai dalam US Dolar. Seperti kita ketahui, Indonesia agak terlambat kena outbreak COVID-19 dibandingkan RRT, Hongkong, Singapura, Jepang dan Korea Selatan. Wajar kalau harga yang ditawarkan negara-negara tersebut melonjak duluan. Tambah lagi, Rupiah melemah terus belakangan ini. Dengan kata lain, bisa jadi nilai ekspor dalam USD naik signifikan gara-gara harga per unit nya naik, bukan produksinya yang mendadak tinggi. Alternatif lain adalah eksportir menjual stok gudang mereka.

Masalah lain yang membuat analisis ini agak sulit dilakukan adalah karena banyak Ex. di aturannya. Ex. artinya tidak semua barang di kategori HS tersebut yang dilarang. Jadi discreening lagi berdasarkan uraian barangnya. Memang uraian di tabel 1 tidak plek sama dengan definisi di HS-nya. Bisa aja kita mengekspor dan mengimpor barang dengan definisi / uraian yang berbeda tapi masih di dalam 1 kelompok HS.

Sayangnya saya tidak dapat memastikan itu semua dengan data yang terbatas. Tapi untuk ngomongin comparative advantage, yang dapat saya katakan mungkin adalah saya tidak setuju compative advantage adalah penyebabnya. Benar bahwa krisis akan menyebabkan valuasi marjinal semua barang akan berubah drastis. Namun ketika seluruh dunia mengalami perubahan pola konsumsi seperti saat ini (di mana tiba-tiba kebutuhan masker meningkat tajam sementara kebutuhan barang non esensial jatuh), yang penting mungkin adalah bagaimana ekonomi bisa dengan fleksibel menyesuaikan diri.

Permintaan seluruh dunia, tidak hanya AS, saat ini meningkat. Penyuplai utama dunia, RRT, tengah berjuang untuk meningkatkan produksi mereka. AS sendiri telah meminta pabrik non-APD seperti pabrik mobil untuk mengalih-fungsikan pabrik mereka menjadi pabrik masker, dan sepertinya memang dapat dilakukan. Saya rasa ini secara umum adalah masalah ketidak-siapan menghadapi pandemik aja sih. AS sudah pasti negara adidaya produsen perlengkapan perang, tapi emang selama ini nggak pernah mikirin pandemik sebesar ini aja sih. Pandemik tidak dianggap sepenting krisis peperangan, di mana persiapan AS sangat matang bahkan sampe bikin pangkalan militer di seluruh dunia.

Di tulisan saya yang lain, saya membahas bagaimana pabrik-pabrik mulai ber-alih fungsi menjadi produsen antiseptik dan masker. Tinggal bagaimana otoritas yang berwenang mempercepat ijin seperti ijin edar atau pengurangan hambatan impor bahan baku dari barang-barang tersebut di tengah krisis ini. Jika market dapat beradaptasi dengan cepat, pemerintah harus dapat memfasilitasi perubahan tersebut. Bahkan bisa saja sebuah negara bisa saja membuat rencana atau protokol pengalih-fungsian pabrik untuk memenuhi kebutuhan alat kesehatan di tengah krisis, seperti halnya militer merencanakan jalan tol untuk dapat dipergunakan sebagai runway pesawat di tengah darurat perang.

Saat ini, kerjasama antar negara sangat diperlukan untuk menyelamatkan manusia dan tentu saja ekonomi. Inilah repotnya epidemi. Selama masih ada negara yang masih sakit, maka negara tersebut tetap punya potensi menularkan ke negara tetangganya. Kesehatan global sangat penting bagi kita semua, apalagi eksportir dan pengguna produk luar negeri. Kesehatan kita adalah kepentingan RRT dan AS, begitu pula kesehatan mereka. Saya lihat di sosmed ada banyaaaaaaaaaaaaaaak sekali usaha meningkatkan produksi APD dan masker dari masyarakat, namun RRT termasuk yang paling cepat meningkatkan produksi barang-barang kesehatan.

Sepertinya saat ini kita harus bergantung pada mereka, dan tidak ada yang salah dengan itu.

Krisna Gupta
Krisna Gupta
Dosen

Dosen di Politeknik APP Jakarta. Juga mengajar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Associate researcher di Center for Indonesian Policy Studies. Fokus penelitian tentang dampak kebijakan perdagangan dan investasi terhadap ekonomi Indonesia, terutama sektor manufaktur.

comments powered by Disqus

Terkait